Thursday, May 31, 2007

KEWENANGAN SATUAN TERITORIAL

KEWENANGAN SATUAN TERITORIAL
DALAM MENGHADAPI KEADAAN DARURAT
DI WILAYAH



PENDAHULUAN


1. Umum. Dunia saat ini telah memasuki suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar bangsa yang semakin mendalam serta globalisasi dan saling keterkaitan antar masalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II, mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya.

Perubahan mendasar telah terjadi di kawasan Asia yang dilanda krisis moneter, yang selanjutnya telah membawa bangsa-bangsa di kawasan mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Indonesia tidak luput dari perubahan tersebut, terlebih krisis ekonomi telah membawa bangsa ini kepada krisis multidimensional yang pada akhirnya telah melahirkan reformasi sebagai wujud dari ketidak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu. Reformasi telah dijadikan sebagai salah satu agenda nasional untuk melakukan perubahan-perubahan di Indonesia dengan mengedepankan masalah demokratisasi, penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu.
/Berbagai. . . . . . .


Berbagai perubahan telah dilakukan sebagai realisasi dari reformasi yang telah disepakati bersama, walaupun masih banyak kalangan yang belum puas dengan proses reformasi dan hasil yang ingin dicapai sampai dengan saat ini.

TNI sebagai salah satu komponen bangsa tidak luput dari proses reformasi dalam rangka menuju Indonesia Baru. Pemisahan TNI dan Polri serta Pembagian peran TNI dan Polri telah diatur dalam Ketetapan MPR RI yaitu nomor : VI Tahun 2000 dan Nomor : VII Tahun 2000, telah memisahkan secara tegas peran kedua institusi tersebut. Dengan adanya ketetapan MPR tersebut, sementara undang-undang dan ketentuan yang lain di bawahnya masih belum diganti dan bahkan mungkin sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, menyebabkan prajurit TNI tidak memiliki pedoman dan seperti ada keraguan dalam bertindak. Hal ini tidak boleh terjadi dan perlu segera ditentukan jalan pemecahan yang tepat, agar prajurit TNI selaku unsur pelaksana tidak menjadi tumbal kesalahan prosedur. Menyikapi hal tersebut, TNI AD dengan unsur-unsur yang berada di jajaran pembinaannya, khususnya Satuan Teritorial ( Satter ) sebagai unsur terdepan pelaksana pembinaan teritorial yang merupakan salah satu fungsi yang masih dianggap relevan diperankan oleh TNI AD hingga saat ini, belum memiliki kewenangan yang jelas tentang tugas yang diemban berkaitan dengan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. Pertikaian yang terjadi selama ini baik di Sampit, Maluku, Aceh maupun Irian Jaya telah menempatkan TNI pada posisi yang tidak jelas dan sangat mudah disalahkan. Belajar pada pengalaman dalam menghadapi pertikaian antar etnis di Sampit, Kalteng beberapa waktu lalu, tulisan ini mencoba untuk mencari dan menemukan kewenangan apa yang perlu dimiliki Satter dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah, dihadapkan pada kemungkinan perkembangan di masa depan.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang ketentuan keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki oleh satuan teritorial dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah.

b. Tujuan. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan di masa depan, terutama berkaitan dengan ketentuan keadaan darurat dan kewenangan satuan teritorial dalam menghadapi keadaan darurat.
/3. Ruang. . . . . . .

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi ketentuan keadaan darurat, kewenangan Satter sebagai komponen TNI AD dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah dihadapkan dengan perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut sebagai berikut :
a. Pendahuluan.
b. Landasan dan Latar Belakang Pemikiran
c. Ketentuan Keadaan Darurat dan Kewenangan Satter Saat Ini.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi.
e. Analisis Kewenangan Satter dalam Keadaan Darurat.
f. Kesimpulan dan Saran.
g. Penutup.

4. Metode dan Pendekatan. Tulisan ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan dan pengalaman langsung di lapangan.


LANDASAN DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

5. Umum. Keberadaan dan integritas Satter di daerah dalam beberapa tahun terakhir ini sangat baik dan dibutuhkan pada saat itu. Hal ini disebabkan karena Satter dapat memfungsikan dirinya di tengah masyarakat yang memang membutuhkan keberadaannya. Seiring dengan perubahan zaman khususnya di era reformasi saat ini, keberadaan Satter mulai dipertanyakan dan bahkan ada tuntutan sebagian komponen bangsa ini menghendaki agar Satter dibubarkan. Hal ini terjadi selain sebagai imbas dari keterlibatan TNI dalam masalah politik praktis di masa lalu, juga sebagai akibat dari adanya penyimpangan yang dilakukan personil Satter di tengah masyarakat, yang tidak lagi berpijak pada kepentingan masyarakat. Di sisi lain dengan adanya Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri telah memberikan nuansa baru tentang pemahaman pertahanan dan keamanan, yang hingga saat ini masih dalam proses penataan. Mencermati kondisi tersebut, dalam pembahasan ini akan menjelaskan apa yang menjadi landasan dan latar belakang pemikiran tentang kewenangan Satter di wilayah dalam keadaan darurat dihadapkan pada perkembangan situasi saat ini.

/6. Landasan. . . . . . .

6. Landasan History. Sejarah perjalanan Bangsa Indinesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah melalui proses perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa ini harus berjuang keras untuk mengusir kembali penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Pada tahun itu pula upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut dan dalam rangka menghadapi kedatangan tentara Sekutu yang diikuti oleh NICA ke Indonesia, pemerintah telah menyatakan Indonesia dalam keadaan Darurat Perang. Sedangkan Darurat Militer pernah dilaksanakan pada tahun 1948 ketika Belanda melaksanakan agresi ke II dan antara tahun 1955 s/d tahun 1960 sehubungan dengan banyaknya pemberontakan bersenjata yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Pemberlakuan Darurat Sipil pernah dilakukan di beberapa kota di Jawa Tengah pada tahun 1978 dalam mengatasi masalah Malari. Sedangkan di Ambon hingga saat ini masih berlaku Darurat Sipil. Terlepas dari efektif atau tidaknya, keadaan darurat telah pernah dan saat ini sedang diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia.

7. Landasan Hukum. Satter sebagai bagian dari TNI AD memiliki peran dan tugas sama seperti peran dan tugas yang diberikan kepada TNI, tetapi dibatasi pada lingkup wilayah. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dijelaskan bahwa, Pertama, “ TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan NKRI “.[1] Kedua, “ TNI sebagai alat pertahanan negara, bertugas menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.[2] Dengan adanya peran dan tugas yang diberikan negara kepada TNI, maka perlu adanya penjabaran lebih jauh tentang kewenang yang dimiliki oleh TNI terutama Satter dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah. Tentang kewenangan secara umum bagi aparat dan pejabat saat diberlakukannya keadaan darurat diatur dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (KB). Sementara itu RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) sebagai pengganti Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 masih belum disyahkan karena mendapat tentangan dari beberapa pihak. Secara umum isi dari kedua peraturan tersebut relatif sama, tetapi jauh lebih lunak isi RUU PKB dibandingkan dengan Perpu KB.
/8. Otonomi. . . . . . .

8. Otonomi Daerah. Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara nasional telah berlaku mulai 1 Januari 2001. Kondisi ini menempatkan Pemda sebagai penguasa tunggal dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola potensi wilayah untuk kepentingan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan yang tidak dilimpahkan kepada daerah sesuai UU RI Nomor :22 Tahun 1999 Pasal 7 (1) “ Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain”.[3] Sementara itu kewenangan Pemda dibidang Hankam di daerah sesuai UU RI Nomor:22 Tahun 1999 Pasal 10 (2) “e. bantuan penegakan keamanan dan kedaolatan negara”[4]. Dalam hal ini Pemda bersifat membantu aparat yang bertugas di bidang Hankam. Kewenangan berada di pusat dan dapat dilimpahkan kepada aparat pusat yang berada di daerah.

9. Pertikaian Antaretnis di Kalteng. Pertikaian antaretnis yang terjadi di wilayah Kalteng beberapa bulan terakhir ini telah menjadi isu nasional dan bahkan internasional. Secara nasional isu tersebut mengarah pada tudingan masyarakat indonesia kepada masyarakat Dayak pada upaya untuk merusak tatanan bingkai NKRI. Sedangkan secara internasional telah memberikan label pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Dayak pada khususnya sebagai manusia yang tidak beradab dan kanibalistis. Sementara itu simpati dan pertolongan berdatangan kepada masyarakat warga Madura yang mengungsi dan dianggap sebagai korban kebiadaban warga Dayak. Penanganan pertikaian antaretnis tersebut, banyak pihak yang menilai pemerintah lambat dalam bertindak, sehingga timbul banyak korban. Sementara itu upaya untuk penyelesaian lebih lanjut pertikaian tersebut, terbentur pada sikap Pemda yang menolak diberlakukannya keadaan darurat di wilayah Kalteng pada umumnya maupun Sampit khususnya. Akibat penolakan tersebut, maka jatuh korban terjadi lebih banyak, baik korban jiwa masyarakat yang tidak berdosa maupun korban harta benda masyarakat tanpa bisa dilindungi. Penolakan Pemda untuk diberlakukannya keadaan darurat di wilayah Kalteng, sangat bernuansa politik dan ada indikasi kuat Pemda memiliki kepentingan dalam kerusuhan tersebut.
/10. Bantuan. . . . . . .

10. Bantuan Militer pada Pertikaian Antaretnis di Kalteng. Kejadian pertiakaian antaretnis di Kalteng ternyata masih dikategorikan dalam keadaan tertib sipil, padahal korban jiwa yang meninggal 419 orang dan korban luka-luka 93 orang. sementara rumah yang dibakar 1.017 buah dan yang dirusak 287 buah. Mobil yang dibakar 19 buah dan sepeda moter 48 buah. Pengungsi dari suku Madura dan suku lainnya ke Jawa 71.113 jiwa[5] dan pengungsi suku Dayak dan suku lainnya ke Palangkaraya sekitar 6.122 jiwa. Sementara itu personil pengamanan dari Polri yang dilibatkan meliputi unsur Polda Kalteng, enam Polres yang berada di jajaran Polda Kateng, Tiga Kompi Satuan Brimob Polda Kalteng dan diperkuat oleh 12 SSK dari tiga Satuan Brimob dari Resimen Brimob Kelapa Dua Jakarta dan Polda Bali. Sementara itu bantuan militer yang diberikan baik karena permintaan dari Polda Kateng maupun dari Gubernur Kalteng terdiri dari 18 SSK dari empat Batalyon yaitu Yonif 412/Kostrad, Yonif 700/Linud, Yonif 612/Linud dan dua SSK dari Yonif 621, disamping satu SSK gabungan unsur Korem 102/PP dan empat SSK Yonif 631.[6] Dilihat dari jumlah kekuatan satuan yang ada, perbandingan antara satuan yang dibantu dengan yang membantu ternyata lebih besar kekuatan satuan yang membantu. Disisi lain, pengalaman dilapangan menunjukan bahwa Polri tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam mengatasi pertikaian antaretnis yang terjadi di Kalteng. Bahkan muncul masalah baru yaitu pertikaian antara etnis Dayak dengan Polri dan antara Polri dengan TNI AD yang sama-sama menimbulkan korban jiwa dan material cukup banyak. Pada saat terjadi kasus penembakan oleh SSK Brimob Kelapa Dua terhadap masyarakat pengunjuk rasa di Bunderan Besar Palangkaraya, masyarakat Dayak melakukan perlawanan dan berupaya untuk melakukan penyerangan besar-besaran terhadap konsentrasi seluruh personil Polri dan keluarganya yang berada di Mapolda Kalteng. [7] Dalam kondisi yang demikian, dimana unsur Polri tidak berani keluar Mapolda Kalteng dan tidak melakukan kegiatan apapun, kecuali bertahan di dalam Mapolda, Polri masih merasa mampu dan masih tetap mengatakan pengendalian keamanan berada di tangan Kapolda. Hal ini sungguh sangat ironis, tetapi karena masih dikehendaki berlaku tertib sipil, maka kondisi itu harus diterima sebagai suatu kenyataan.


/KETENTUAN. . . . . . . .

KETENTUAN KEADAAN DARURAT
DAN KEWENANGAN SATTER SAAT INI

11. Umum. Negara dimanapun di dunia memiliki perundang-undangan yang mengatur negara dengan landasan hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa, khususnya menghadapi keadaan darurat. Terlebih negara berkembang seperti Indonesia, ketentuan tersebut sangat diperlukan dalam memberikan kepastian dan rasa keadilan bagi masyarakat. Bangsa Indonesia dalam perjalanannya telah beberapa kali memberlakukan keadaaan darurat sesuai dengan kondisi yang dihadapi saat itu. Sejauh mana ketentuan yang mengatur keadaan darurat dan kewenangan bagi aparat dalam situasi darurat saat ini, tulisan ini mencoba untuk mengedepankan kembali ketentuan keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

12. Ketentuan Keadaan Darurat. Berpedoman pada Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dapat diketengahkan hal-hal sebagai berikut :

a. Ketentuan keadaan darurat dibagi tiga macam, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang.

b. Kewenangan dalam Darurat Sipil.
1) Tanggung jawab pemerintahan pada Gubernur dibantu Pejabat terkait didaerah.
2) Kewenangan.
a) Berhak mengadakan peraturan yang membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan.
b) Berhak memasuki, menyelidiki, menggeledah, mensita barang yang digunakan untuk mengganggu keamanan.
c) Mengetahui berita-berita, melarang/memutuskan berita-berita.
d) Membatasi/melarang pemakaian kode-kode, tulisan, percetakan, gambar-gambar dan tanda-tanda.

/e) Membatasi. . . . . . .

e) Membatasi/melarang pemakaian telepon, telegram radio dan alat lainnya.
f) Membatasi/melarang memasuki/ memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman/lapangan-lapangan.
g) Memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai.

c. Kewenangan Darurat Militer.
1) Tanggung jawab berada pada Pejabat Militer setempat.
2) Kewenangan.
a) Ketentuan darurat sipil berlaku.
b) Membatasi/larangan senjata api dan bahan peledak.
c) Kuasai perlengkapa-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi.
d) Larangan mengubah lapangan dan benda-benda di lapangan.
e) Menutup gedung-gedung.
f) Atur, batasi/larangan keluar masuk/edarkan barang.
g) Atur, batasi dan larangan lalu lintas darat, udara dan air.
h) Sita surat-surat dan kiriman-kiriman.
i) Memerintahkan orang untuk bekerja guna kepentingan Hankam.
j) Menangkap dan menahan orang.

d. Kewenangan Darurat Perang.
1) Tanggung jawab berada pada Pejabat Militer setempat.
2) Kewenangan.
a) Ketentuan keadaan darurat sipil dan militer berlaku.
b) Mengambil/memakai barang-barang apapun untuk kepentingan Hankam yang dapat jadi milik negara.
c) Memanggil orang untuk bekerja pada APRI dan ketentuan hukum tentara berlaku baginya. [8]

/13. Kewenangan. . . . . . .

13. Kewenangan Satter dalam Keadaan Darurat. Ketentua yang mengatur tentang keadaan darurat saat ini masih berlaku Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Menyikapi perkembangan terakhir dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat tentang kebebasan masyarakat berkaitan dengan pemberlakuan ketentuan Keadaan Bahaya di masa lalu, telah berhasil dibuat undang-undang baru yang mampu mengakomodasi tuntutan keadaan tetapi masih memenuhi kriteria kebutuhan dalam kerangka menjamin tetap tegaknya wibawa pemerintah dan pejabat negara. Undang-undang tersebut yang masih dalam bentuk rancangan adalah RUU PKB. Karena pertimbangan situasi dan kondisi berkaitan dengan adanya penolakan terhadap pemberlakuan RUU PKB tersebut, maka hingga saat ini RUU PKB tersebut belum disyahkan menjadi undang-undang. Dengan demikian ketentuan yang berlaku adalah ketentuan keadaan darurat seperti yang ada dalam Perpu Nomor: 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sampai saat ini, dimana keadaan darurat sipil masih berlaku di Ambon, maka ketentuan yang berlaku disana sesuai dengan Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tersebut. Mengingat Satter sebagai bagian dari unsur militer yang ada di daerah, maka kewenangan yang dimiliki oleh aparat militer di daerah sama dengan kewenangan yang dimiliki Satter yang ada di wilayah tersebut, sesuai dengan jenis keadaan darurat yang ditetapkan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

14. Umum. Program reformasi yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia pada awal tahun 1997, telah memberikan harapan baru dalam upaya pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Harapan tersebut baik dalam bidang demokratisasi yang memberikan landasan kebebasan pada masyarakat, bidang hukum yang memberikan kepastian dan jaminan hukum serta HAM yang memberikan rasa keadilan yang merupakan hak azasi setiap manusia dimanapun mereka berada, hingga saat ini masih belum sepenuhnya dirasakan berhasil dicapai. Hal ini disebabkan dengan adanya pengaruh berbagai faktor di dalam suasana kehidupan bangsa yang masih dalam masa transisi menuju Indonesia Baru. Dengan adanya berbagai kepentingan tersebut, maka telah melahirkan rasa pesimis dari kelompok masyarakat tertentu dan menganggap tujuan reformasi yang pernah diperjuangkan tidak mungkin tercapai.
/Kompensasi. . . . . . .


Kompensasi dari rasa pesismis tersebut tertuang dalam maraknya penolakan terhadap berbagai produk perundangan-undangan yang telah berhasil dibuat oleh DPR. Setiap produk perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat cenderung ditanggapi secara skeptis dan dicurigai sebagai upaya mempertahankan status dan kepentingan. Sejauh mana pengaruh berbagai faktor yang ada terhadap ketentuan keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki oleh Satter, pembahasan berikut ini mencoba mengulas melalui cara penganalisaan yang komfrehensip.

15. Faktor Ekstern.

a. Kendala. Perkembangan situasi Indonesia saat ini tidak terlepas dari isu globalisasi yang pada akhirnya membawa bangsa Indonesia ke era Reformasi. Proses reformasi telah memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpikiran kritis dan ingin membawa Indonesia dalam suasana Liberal. Indikasi kearah ini sangat jelas kelihatan, berupa keberanian untuk menghujat jajaran suprastruktur yang ada dan bahkan tanpa kecuali infrastruktur sekalipun. Dalam upaya menentukan kewenangan apa yang perlu diberikan kepada Satter diwilayah dalam keadaan darurat akan banyak mengadapi kedala seperti : Pertama, isu demokratisasi telah menjadikan kebebasan sebagai landasan dalam setiap tindakan, keterbukaan menjadi tuntutan, kesetaraan, kebersamaan dan keadilan menjadi tujuan perjuangan. Dengan adanya keadaan darurat yang sarat dengan berbagai pembatasan dan larangan, maka akan mendapat tetangan dari berbagai pihak. Kedua, HAM menjadi senjata pamungkas untuk memperjuangkan kepentingan, tanpa memperhatikan bahwa perjuangan mereka justru telah melanggar HAM orang lain. Pemberlakuan keadaan darurat yang penuh dengan pengurangan hak individu untuk kepentingan umum dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM dan akan mendapat tentangan dari berbagai pihak. Ketiga, tuntutan supremasi hukum berlaku kepada semua orang dan tidak ada orang, apapun statusnya yang kebal hukum, dijadikan landasan bahwa keadaan darurat tidak memberikan jaminan pada aparat Satter dapat bertindak semaunya tanpa proses pengadilan. Apabila proses pengadilan dijadikan landasan tindakan darurat, maka akan sangat lambat dan mungkin tidak akan pernah terwujud kewenangan yang dimiliki aparat.

/Keempat. . . . . . .

Keempat, pengalaman masa lalu yang memberikan kewenangan yang besar kepada aparat untuk melakukan tindakan hukum selama keadaan darurat, telah menimbulkan trauma dalam masyarakat, sehingga kemunculan kembali keadaan darurat dan kewenangan aparat selama masa darurat akan sangat ditentang oleh sebagian masyarakat.

b. Peluang. Keadaan Indonesia saat ini yang terancam disintegrasi, telah mencemaskan masyarakat dunia. Masyarakat internasional sebenarnya sangat menginginkan Indonesia dalam keadaan aman dan stabil, mengingat aset dari negara maju baik berupa saham maupun investasi lainnya cukup banyak di Indonesia. Disamping itu kerjasama regional di Asia Tenggara telah memberikan perkembangan positif mekanisme kerja sama antarnegara di kawasan tersebut. Peluang yang ada untuk keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki aparat adalah sebagai berikut : Pertama, Negara maju tidak mau kehilangan asetnya dan sekaligus pasar mereka yang potensial di Indonesia, bila terjadi kekacauan yang terus menerus di Indonesia. Mereka sangat membutuhkan adanya stabilitas dengan cara apapun, termasuk kemungkinan memberlakukan keadaan darurat guna mempercepat proses pengembalian keamanan. Kedua, Masyarakat sipil Indonesia sangat menyadari bahwa dalam situasi Indonesia saat ini yang serba tidak menentu yang berkepanjangan dan menimbulkan kejenuhan, bahkan terancam disintegrasi, akan menentukan pilihan terbaik pada pemberlakuan keadaan darurat dengan segala resikonya untuk mengakhiri situasi yang tidak menentu tersebut. Ketiga, Keberadaan Satter di tengah masyarakat ternyata masih sangat dibutuhkan terlebih dalam situasi seperti saat ini. Peran, tugas dan kewenangan apapun yang ditampilkan terutama dalam konteks mengakhiri situasi yang serba tidak menentu saat ini, akan mendapat dukungan. Keempat, pengalaman pertikaian antaretnis di Kalteng telah membuktikan bahwa masyarakat ingin agar TNI mengambil alih Kodal keamanan di daerah guna mempercepat berakhirnya pertikaian dan mencegah jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang lebih besar. Terlepas dari keinginan tersebut ada maksud lain yang tersembunyi dibalik itu, berdasarkan pengamatan dilapangan pengambil-alihan kodal oleh TNI ada kemungkinan dapat mencegah meluasnya pertikaian kedaerah lain. Kenyataannya sebaliknya, karena kodal masih ditangan Polri.
/16. Faktor. . . . . . .
16. Faktor Intern.

a. Kelemahan. Pemberlakuan keadaan darurat dengan pemberian kewenangan kepada aparat terutama Satter memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan mendasar tersebut baik pada individu, kelompok maupun organisasi bersifat manusiawi dan pada dasarnya dapat diatasi dengan cara-cara manusiawi pula. Adapun kelemahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : Pertama, Masa lalu TNI yang telah memainkan peran dalam kehidupan politik praktis dengan kedekatannya pada salah satu kekuatan sosial politik telah merusak citra TNI, walaupun dilakukan oleh sebagian kecil personil TNI yang memiliki interes tertentu pada masalah politik. Ada kecenderungan oknum personil TNI masih memiliki obsesi untuk tampilnya TNI seperti masa lalu yang penuh dengan kekuasaan. Kedua, Aplikasi kegiatan Binter oleh Satter selama ini diakui masih banyak terjadi penyimpangan. Walaupun sekedar “joke”, mengubah kata pembinaan menjadi pembinasaan, merupakan indikasi adanya penyimpangan tersebut. Selama mengatasi pengungsian di Sampit pada saat pertikaian antaretnis, yang akhirnya menimbulkan pertikaian antar aparat, telah menunjukan bahwa ada sebagian oknum aparat yang mengutamakan kepentingan pribadi daripada membantu secara kemanusiaan warga yang sangat membutuhkan bantuan. Apabila dalam situasi damai saja kejadian tersebut terjadi dan sempat mengotori pengorbanan dan perjuangan aparat selama bertugas, bagaimana bila situasi darurat benar terjadi ?. Besarnya kewenangan yang dimiliki aparat dalam keadaan darurat dapat berpeluang disalahgunakan oleh oknum aparat yang memiliki kepentingan pribadi dan rendahnya moral yang bersangkutan. Ketiga, Kualitas sumber daya manusia dan kuantitas personil Satter di wilayah, terutama di Kalteng tidak sepenuhnya dapat menunjang program kebijaksanaan pimpinan TNI, khususnya dalam melaksanakan kewenangan dalam keadaan darurat. Hal ini disebabkan selain hal diatas, juga dukungan yang diharapkan terutama dari masyarakat akan sangat kurang, terlebih masyarakat merasa ada hak-haknya yang diambil guna kepentingan militer dan kepentingan umum. Keempat, Piranti lunak yang ada cenderung tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan, disamping kurang dipahami oleh aparat secara keseluruhan.

/Seperti. . . . . . .


Seperti halnya UU Mobilisasi dan Demobilisasi, hingga saat ini sebagian besar aparat masih belim memahami isinya. Hal ini disebabkan kurangnya upaya sosialisasi terhadap undang-undang tersebut.

b. Kekuatan. Apabila keadaan darurat diberlakukan dan kewenangan tersebut berada pada TNI dengan unsur Satter sebagai ujung tombak dilapangan, maka akan memiliki daya dukung yang baik dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, keberadaan TNI sebagai kelembagaan saat ini sangat solid, baik dalam hal organisatoris, maupun dukungan terhadap program kegiatannya yang dirasa masih sangat menunjang citra TNI, terutama di tingkat nasional dan daerah. Hal ini memberikan keyakinan dalam diri para personil dilapangan untuk setya dan loyal kepada pimpinan dalam pelaksanaan tugas. Kedua, Redefinisi Dwi Fungsi ABRI yang telah dirubah secara terminologi menjadi Peran TNI,[9] sebenarnya telah menimbulkan kekuatan baru dalam diri personil TNI secara keseluruhan. Personil tidak lagi ragu-ragu dalam bertindak, sebab visi dan misi TNI sangat jelas untuk kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keterlibatan dalam politik praktis telah dihentikan, jiwa dan nurani prajurit tidak terbelah dalam kebenaran dan kepentingan golongan, tetapi sebaliknya menyatu dalam kebenaran langkah untuk kepentingan negara. Ketiga, reformasi internal TNI telah mengurangi beban tugas dari Satter dalam bidang yang bukan tanggungjawabnya. Hal ini memberikan peluang pada personil TNI untuk lebih profesional dalam pelaksanaan tugas, sehingga kewenangan yang diberikan seminimal mungkin tidak disimpangkan. Keempat, pemisahan peran TNI dan Polri telah memberi fokus pada satu tugas dan memudahkan dalam pelaksanaan dilapangan. TNI tidak lagi menjadi pemadam kebakaran yang berarti ikut sibuk di semua bidang pada tempat dan waktu yang salah. Kondisi ini menempatkan personil TNI jauh lebih profesional dan percaya diri dalam bertugas. Kelima, kewenangan pusat di bidang pertahanan dan keamanan memberikan kemudahan pada sistim komando yang sangat sentralistis, sehingga menjamin kesatuan dan mencegah terjadinya bias dilapangan. Hal ini berarti memberikan kemudahan dalam Kodal dan lebih menjamin proses pencapaian tujuan akhir.
/ANALISIS. . . . . . . .

ANALISIS KEWENANGAN SATTER
DALAM KEADAAN DARURAT

17. Umum. Mencermati pengalaman masa lalu, batasan yang diatur dalam piranti lunak, masalah yang ada dalam lingkup Satter saat ini, perkembangan situasi nasional kedepan dan berbagai faktor yang berpengaruh lainya, merupakan simpul-simpul pembahasan dalam tulisan berikut ini. Dihadapkan pada tuntutan tugas untuk menjamin tetap tegaknya dan tetap utuhnya NKRI serta upaya melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesa, tulisan ini mencoba mencari formulasi yang tepat untuk keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki Satter sebagai komponen TNI AD dan sebagai ujung tombak kegiatan dilapangan. Dengan tetap berpedoman pada kasus pertikaian antaretnik di Kalteng dan berbagai implikasi dilapangan, diharapkan tulisan ini mampu memberikan kondisi obyektif dalam memenuhi tuntutan pelaksaan tugas dilapangan.

18. Ketentuan Keadaan Darurat. Pengaturan keadaan darurat dalam Perpu Nomor: 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya meliputi Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Kewenangan menyarankan keadaan darurat terletak pada Gubernur selaku kepala daerah dengan dibantu unsur Muspida setempat dan atas pesetujuan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Memperhatikan ketentuan tersebut dihadapkan pada pengalaman selama ini, baik pada penanganan kasus pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya serta faktor yang berpengaruh dan ancaman yang dihadapi bangsa saat ini, dapat diketengahkan beberapa hal sebagai berikut :

a. Ketentuan keadaan darurat. Pembagian keadaan darurat seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang bersifat ekslusif. Dengan pembagian tersebut dapat menimbulkan kerancuan pada masyarakat dan bahkan pada aparat dalam pelaksanaan tugas. Pedoman yang bersifat rinci memang baik bagi unsur pelaksana di lapangan, tetapi bagi masyarakat yang menjadi obyek akan sangat membingungkan, mengingat aturan yang ada sudah mengurangi rasa kebebasan dari individu masyarakat tersebut. Bagi aparat sekalipun, rincinya kewenangan yang dimiliki dapat dijadikan alasan pembenaran terhadap kekeliruan yang mungkin sengaja dilakukan dengan untuk kepentingan pribadi.
/Dilain. . . . . . .

Dilain pihak dengan adanya pembagian keadaan darurat yang disesuaikan dengan situasi yang berkembang kurang memberikan ketegasan dalam penerapan hukum. Tuntutan fleksibelitas suatu aturan hukum bukan pada isi hukum itu sendiri, tetapi pada keadaan dan penerapannya di lapangan. Penerapan suatu keadaan darurat secara bertahap dapat menimbulkan beberapa implikasi seperti : Pertama, bagi pelaku yang berkepentingan dalam menciptakan keadaan bahaya memiliki ruang manuver untuk menyiapkan keadaan yang menguntung pihaknya dan menempatkan aparat dalam posisi sulit. Disamping itu pelaku memiliki pengalaman dan sebagai medan latihan dalam menghadapi situasi yang lebih sulit. Kebebasan, supremasi hukum dan penegakan HAM yang mereka tuntut telah mengurangi kebebasan masyarakat, melanggar HAM orang lain dan malahan melanggar hukum. Di sisi lain peluang yang ada dapat diperbesar mengingat dalam suasana kejenuhan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, maka masyarakat akan berpaling kepada pihak yang dianggap mampu, dipercaya bisa memberi rasa aman dan memiliki legitimasi. Dengan kata lain untuk upaya preventif sistim tersebut kurang memiliki nilai tangkal. Kedua, bagi aparat timbul sikap menduga-duga situasi, sehingga kurang memiliki daya tangap terhadap tugas yang harus dihadapi. Timbul sikap pilih kasih dalam menghadapi tugas yang pada gilirannya dapat menurunkan disiplin pribadi aparat dalam merespon setiap masalah dilapangan. Dengan penjelasan tersebut diatas, maka ketentuan tentang keadaan darurat tidak perlu diklasifikasikan dalam bentuk darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, tetapi cukup keadaan darurat saja. Hanya saja dalam menghadapi situasi yang terjadi dilapangan kewenangan yang diberikan kepada aparat dilapangan berbeda sesuai dengan ancaman yang terjadi. Dengan cara ini kelemahan yang ada dari aparat dapat dieleminir dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada faktor yang berpengaruh tersebut. Dengan sistim ini selain memiliki nilai tangkal yang cukup tinggi juga terdapat standarisasi tindakan aparat dalam merespon keadaan darurat.

b. Kewenangan penentuan keadaan darurat. Dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang KB kewenangan menentukan KB dilakukan oleh Presiden dengan pertimbangan DPR, setelah mendapatkan laporan dan saran dari Gubernur dan disetujui oleh DPRD.

/Mekanisme. . . . . . . .

Mekanisme ini kurang tepat pada situasi saat ini, khususnya pada laporan dan saran gubernur, dengan melihat berbagai kasus yang ada, seperti pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya. Adapun pertimbangan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Pertama, Keadaan darurat terjadi sebagai akibat adanya ancaman bahaya berupa keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.[10] Memperhatikan rumusan tersebut, maka keadaan darurat termasuk bidang pertahanan dan keamanan yang merupakan kewenangan pusat. Dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan dan laporannya pun harus berasal dari aparat pusat yang ada di daerah. Hal ini akan memberikan visi yang sama tentang kepentingan pusat di daerah dan sesuai dengan kewenangannya. Disamping masalah gerakan politisasi yang bersifat lokal, pelanggaran HAM dan hukum di daerah dapat dieleminir. Peluang yang ada dengan mengedepankan aparat TNI, khususnya Satter dapat dieksploitir dengan memanfatkan kejenuhan masyarakat akan situasi kacau yang dialami selama ini dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat terhadap TNI. Bagi aparat sendiri kelemahan yang ada seperti masa lalu TNI yang kurang mendukung dan masalah kualitas pesonil aparat dapat dieleminir dengan kekuatan dari faktor internal yang berpengaruh. Kedua, Memperhatikan kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kalteng yang telah nyata-nyata membawa korban jiwa dan harta benda yang cukup besar, hancurnya strata sosial masyarakat di daerah dan ada indikasi menjurus kearah gerakan separatis, ternyata masyarakat dan pemerintah daerah tidak menghendaki di berlakukannya keadaan darurat. Kriteria terganggunya ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan sudah terbukti. Apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat dapat menjurus kepada pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, indikasi kearah itu sudah ada. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapaa hal antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjadikan situasi di daerah sebagai komoditas politik yang sarat dengan kepentingan. Pemerintah pusat dalam hal ini penguasa dari elit politik memanfaatkan situasi di daerah sebagai manuver politik golongannya.
/Keberhasilan. . . . . . .

Keberhasilan penerapan kebijakan pemerintah pusat dapat dijadikan keberhasilan politik penguasa. Sedangkan bila terjadi kegagalan dapat dilimpahkan sebagai akibat kesalahan tehnis dalam pelaksanaan dilapangan. Sementara itu pemerintah daerah yang juga elit politik lokal, merasa prestige pemerintahannya akan jatuh, bila diberlakukan keadaan darurat, karena menyangkut masalah tanggung jawab kepala pemerintahan di daerah. Disamping itu pimpinan pemerintahan daerah juga memiliki intres tertentu, baik menjaga relasinya dengan para pelaku yang menciptakan keadaan bahaya, maupun memiliki persamaan visi dengan pelaku untuk kepentingan tertentu. Indikasi lain adalah upaya daerah untuk mempertinggi nilai tawar daerah terhadap pusat, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang tersendat atau memang ada keterlibatan sebagaian besar oknum pejabat daerah dibalik semua gerakan yang menimbulkan kerusuhan tersebut. Dari penjelasan tersebut sepantasnya laporan dan saran kepada pemerintah pusat merupakan kewenangan aparat pusat yang ada di daerah dijadikan pertimbangan untuk memutuskan pemberlakuan keadaan darurat, bukan laporan dan saran dari pemerintah daerah yang sarat dengan kepentingan daerah.

c. Penanggung Jawab keadaan darurat. Pengendalian kegiatan dalam keadaan darurat sesuai Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 adalah Gubernur selaku Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Kepolisian Daerah dalam keadaan darurat sipil dan pejabat militer setempat dalam keadaan darurat militer dan darurat perang. Ketentuan ini banyak mengandung kelemahan dan kendala dilapangan sesuai dengan pengalaman selama ini. Dalam Pasal 40 (1) UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI mengatakan “ Presiden menyatakan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian dari padanya sesuai dengan intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan nasional”.[11]


/Selanjutnya. . . . . . .

Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut dikatakan “ Hal-hal yang yang mendasari kewenangan presiden untuk mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan bahaya diantaranya : a. terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap kedaolatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa; b. terjadi hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan timbulnya sengketa bersenjata; c. timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara.[12] Sementara itu dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 9 (1) “Dalam keadaan darurat Kepolisian Negara RI memberikan bantuan kepada TNI, yang diatur dalam undang-undang”[13]. Selenjutnya dalam UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI pasal 13 “ Kepolisian Negara RI bertugas : a. selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum; b. dan seterusnya . . . ” [14] Memperhatikan penjelasan dan kutipan tersebut diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, dalam keadaan darurat terjadi keadaan “anomi” yaitu hukum tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Kedua, dalam keadaan darurat tugas kepolisian adalah membantu TNI untuk mengembalikan wibawa hukum. Dengan penjelasan tersebut maka tanggung jawab pengendalian dalam keadaan darurat merupakan kewenangan pejabat militer setempat.

19. Kewenangan Satter dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat dimana terjadi keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum yang menyebabkan tidak berfungsinya upaya penegakan hukum, sebagai akibat terjadinya kerusuhan dengan tindakan kekerasan dan pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, maka merupakan tugas TNI untuk mengembalikan fungsi-fungsi ketertiban umum untuk selanjutnya ditegakan oleh Polri.
/Dalam. . . . . . .

Dalam rangka mengembalikan ketertiban umum, sehingga hukum dapat berjalan, maka perlu adanya kewenangan dari TNI di tingkat pusat atau Satter di wilayah sebagai landasan bertindak. Sesuai dengan penjelasan tentang keadaan darurat yang tidak dibagi dalam darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, maka kewenangan yang menjadi dimiliki bersifat umum dan standar untuk keadaan darurat. Sedangkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda seperti keadaan darurat karena bencana alam, bencana wabah penyakit, pertikaian massa, pemberontakan bersenjata, tindakan separatisme untuk memisahkan diri dari NKRI dan bencana perang serta bencana lainnya perlu diatur secara khusus.

a. Kewenangan umum. Dalam rangka untuk mendapatkan standarisasi dalam kewenangan dari aparat, maka kewenangan umum yang berlaku dalam keadaan darurat meliputi :
1) Berhak mengadakan peraturan yang membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan.
2) Berhak memasuki, menyelidiki, menggeledah, mensita barang yang digunakan untuk mengganggu keamanan.
3) Mengetahui berita-berita, melarang/memutuskan berita-berita.
4) Membatasi/melarang pemakaian kode-kode, tulisan, percetakan, gambar-gambar dan tanda-tanda.
5) Membatasi/melarang pemakaian telepon, telegram radio dan alat lainnya.
6) Membatasi/melarang memasuki/ memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman/lapangan-lapangan.
7) Memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai.
8) Membatasi/larangan senjata api dan bahan peledak.
9) Menguasai perlengkapa-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi.
10) Larangan mengubah lapangan dan benda-benda di lapangan.
11) Menutup gedung-gedung dan menggunakan untuk kepentingan Hankam.

/12) Atur. . . . . . .

12) Atur, batasi/larangan keluar masuk/edarkan barang.
13) Atur, batasi dan larangan lalu lintas darat, udara dan air.
14) Sita surat-surat dan kiriman-kiriman.
15) Memerintahkan orang untuk bekerja guna kepentingan Hankam.
16) Menangkap dan menahan orang.

b. Tindakan khusus.
1) Menghadapi perang.
a) Menyiapkan satuan TNI untuk kepentingan perang..
b) Memanggil orang untuk bekerja pada APRI dan ketentuan hukum tentara berlaku baginya.
c) Melatih satuan cadangan untuk kepentingan perang.

2) Menghadapi bencana alam.
a) Memanfaatkan pasilitas yang ada untuk mencegas meluasnya bencana tersebut.
b) Melaksanakan evakuasi terhadap masyarakat.
c) Melakukan langkah darurat untuk membatasi korban lebih besar.

3) Menghadapi pertikaian massa.
a) Tindakan paksa terhadap masyarakat tertentu dalam menghentikan pertikaian masa.
b) Tindakan keras lainnya mulai dari melumpuhkan sampai dengan tembak ditempat bila diperlukan.

4) Menghadapi pemberontakan, tindakan separatisme dan upaya pemisahan diri dari NKRI.
a) Operasi militer terbatas.
b) Operasi militer penuh apabila ada perintah dari pusat.



/KESIMPULAN. . . . . . . .


KESIMPULAN DAN SARAN

20. Kesimpulan. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa setelah berlakunya ketetapan MPR Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tetang Otonomi Daerah, UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tetanga Kepolisian Negara RI, maka beberapa ketentuan yang berlaku dalam peraturan dan perundang-undangan lainnya tidak relevan lagi dan perlu ada pengaturan kembali. Di samping itu menyikapi kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kateng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya, perlu adanya pengaturan kembali tentang keadaan darurat dan kewenangan yang dimiliki oleh aparat di wilayah agar dapat melaksanakan tugasnya sesuai tuntutan situasi. Adapun ketentuan yang perlu diatur meliputi :

a. Ketentuan keadaan darurat tidak perlu dipisahkan menjadi darurat sipil, darurat militer dan darurat perang cukup keadaan darurat saja. Agar terdapat standarisasi dalam pelaksanaan tugas dan memberikan nilai tangkal yang lebih tinggi.

b. Kewenangan menentukan keadaan darurat tetap pada presiden berdasarkan laporan situasi wilayah dan saran dari aparat TNI di daerah. Hal ini didasari oleh kewenangan bidang Hankam terutama berkaitan dengan hal-hal yang mengancam keselamatan negara dan bangsa merupakan kewenangan pemeintah pusat dan dapat dilimpahkan pada aparat pusat yang berada di wilayah.

c. Tanggung jawab dalam keadaan darurat berada pada pejabat TNI setempat. Selain merupakan kewenangan pusat, bahwa dalam keadaan darurat Polri bersifat membantu TNI.

d. Kewenangan Aparat TNI setempat atau Satter meliputi kewenangan yang bersifat umum dan tindakan khusus sesuai situasi yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian ada standarisasi dalam kewenangan dan dapat memberikan azas fleksibelitas dalam pelaksanaannya, bukan dalam bentuk peraturannya.

/21. Saran. . . . . . .

21. Saran. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas dalam rangka menghadapi keadaan darurat di masa mendatang dan perkembangan situasi bangsa saat ini, disarankan hal-hal sebagai berikut :

a. Perlu perumusan kembali tentang pengertian keadaan darurat yang bersifat umum tanpa ada pembagian seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang.

b. Perlu diatur kembali tentang kewenangan laporan dan saran kepada pusat serta penanggung jawab keadaan darurat di wilayah berada pada aparat TNI di wilayah dan bukan pada Gubernur seperti pada darurat sipil.

c. Perlu diatur kembali agar kewenangan dalam keadaan darurat berada pada aparat TNI dengan kewenangan yang bersifat umum serta tindakan yang bersifat khusus sesuai dengan situasi yang dihadapi.


PENUTUP

22. Demikian tulisan ini dibuat untuk dapatnya dijadikan sebagai bahan masukan kepada Komando Atasan dalam menentukan kebijaksanaan dimasa mendatang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keadaan darurat, sehingga dapat dijadikan pedoman bertindak oleh prajurit di lapangan.

Palangka Raya, 6 Juli 2001
[1] Putusan MPR RI, Sidang Tahunan MPR RI tanggal 7 - 18 Agustus 2000.Hal 83.
[2] Ibid, Hal 84.
[3] UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemda Hal - 9.
[4] Ibid Hal - 10
[5] Laporan Danrem 102/PP tetang Penanganan
Konflik antarenis di Kalteng. Hal - 32.
[6] Ibid Lampiran B-1 s/d B-3.
[7] Ibid Hal - 24.
[8] Perpu Nomor : 23 Tahun 1959.
[9] Paradigma Baru Peran TNI
( Sebuah Upaya Sosialisasi ) Hal - 18.
[10] UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 Pasal 40 (1) Hal - 54.
[11] Ibid Hal - 54.
[12] Ibid Hal - 81
[13] Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000
tentang Peran TNI dan Polri Hal- 86
[14] UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Polri Hal - 10.

No comments: