Thursday, May 31, 2007

UPAYA KOTER DALAM RANGKA

UPAYA KOTER DALAM RANGKA
MENDORONG FUNGSI PENERANGAN, OLAH RAGA
DAN SOSIAL DI DAERAH


PENDAHULUAN


1. Umum. Dunia saat ini telah memasuki suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar bangsa yang semakin mendalam serta globalisasi dan saling keterkaitan antarmasalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Sementara peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional-pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya.

Arus globalisasi telah menghembuskan angin segar tentang isu demokratisasi, Hak Azasi Manusia ( HAM ) dan Lingkungan Hidup, telah menghantarkan bangsa Indonesia dalam era reformasi, setelah terlebih dahulu mengalami krisis moneter yang berkepanjangan.
/Arus. . . . . . .
Arus reformasi di Indonesia telah menetapkan tiga agenda yaitu demokrasi, hukum dan HAM, yang hingga saat ini telah mulai dilaksanakan, walaupun beberapa kalangan masih belum puas akan hasil yang dicapai. Ketidakpuasan sebagian komponen bangsa ini cukup beralasan, sebab agenda yang dicanangkan seperti Otonomi Daerah, yang bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada daerah dalam pengelolaan sumber daya yang ada di daerahnya hanya sebagai wacana politik. Sementara itu penegakan hukum belum sepenuhnya berjalan sebagaimana tuntutan masyarakat luas, sedangkan upaya untuk penegakan HAM, masih jauh dari harapan, karena telah menempatkan masalah HAM pada posisi kepentingan politik, bukan pada upaya penegakan HAM itu sendiri. Semua ekses ketidakpuasan tersebut telah memicu timbulnya keinginan beberapa daerah di Indonesia untuk memisahkan diri dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan sebagian daerah untuk memisahkan diri dari NKRI, sebenarnya bukan kehendak masyarakat secara luas, tetapi adanya sekelompok elit di daerah yang memiliki kepentingan politik untuk menekan pemerintah pusat, agar agenda politiknya di daerah tercapai.

Sementara itu telah terjadi perubahan mendasar di lingkungan TNI, sesuai Ketetapan MPR nomor : TAP/VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Salah satunya telah memberi kewenangan pada TNI dalam bidang Teritorial. Kondisi ini telah menempatkan fungsi TNI di bidang teritorial dalam tatanan hukum di Indonesia, walaupun masih harus diperjuangkan sampai dalam bentuk perundang-undangan. Sebagai pembina teritorial di daerah, dalam pelaksanaan kegiatannya akan berhadapan dengan aspek geografi, demografi dan kondisi sosial untuk dibina menjadi ruang, alat dan kondisi juang untuk kepentingan pertahananan. Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan teritorial dihadapkan pada tuntutan di masa depan dengan berlakunya sistim otonomi daerah, maka melalui tulisan ini mencoba menampilkan formulasi baru dalam upaya pembinaan teritorial dimasa yang akan datang.
/Binter. . . . . . .
Binter di masa depan khususnya dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah, agar dilandasi oleh profesionalisme para pelaku Binter dalam rangka meciptakan potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh dan mampu menjawab tantangan tugas masa depan.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang upaya Koter dalam rangka mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah di masa depan, dihadapkan pada tuntutan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas.

b. Tujuan. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan dalam bidang Binter yang dilaksanakan oleh Koter di daerah, khususnya dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi upaya pembinaan teritorial dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah dihadapkan pada perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut penulisan sebagai berikut :

a. Pendahuluan.
b. Landasan dan Latar Belakang Pemikiran.
c. Kondisi Saat Ini.
d. Faktor yang Mempengaruhi.
e. Analisis Antara Harapan dan Kemungkinan.
f. Kesimpulan dan Saran.
g. Penutup.

/4. Metode. . . . . . .
4. Metoda dan Pendekatan. Penulisan karya tulis ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan langsung dilapangan.

5. Pengertian.

a. Permainan Keprajuritan adalah sarana rekreasi di medan terbuka yang telah disiapkan sedemikian rupa dengan berbagai sarana dan prasarana pertempuran serta perangkat aturan mainnya yang dapat digunakan oleh masyarakat umum untuk mengenal kegiatan prajurit di medan tempur yang di simulasikan.

b. Satuan Koter sebagai basis kegiatan pembinaan olah raga mengandung arti bahwa setiap satuan memiliki semacam klub seperti klub menembak, Pedepokan silat, Pengurus Ranting bela diri dan lain-lain.

c. Insan Penerangan adalah personil penerangan yang memiliki kemampuan dibidang pencarian berita, pengungkapan kasus, penyajian berita atau makalah serta penyiapan bahan publikasi di media masa.

LANDASAN DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

6. Umum. Keberadaan dan integritas Koter di daerah dalam beberapa tahun terakhir ini sangat baik dan kondusif serta sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena Koter dapat memerankan fungsinya ditengah masyarakat yang memang membutuhkan keberadaannya. Seiring dengan perubahan zaman khususnya di era reformasi saat ini, keberadaan Koter mulai dipertanyakan dan bahkan ada tuntutan sebagian komponen bangsa ini agar Koter dibubarkan.
/Hal. . . . . . . .

Hal ini terjadi selain sebagai imbas dari dihentikannya keterlibatan TNI dalam masalah politik, juga sebagai akibat dari adanya penyimpangan dari para pelaku Koter di tengah masyarakat yang tidak lagi berpijak pada kepentingan masyarakat. Di sisi lain, beberapa lembaga diluar TNI telah direformasi seperti Departemen Penerangan, Departemen Sosial dan Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga serta departemen dan instansi lainnya, sebagai langkah pemerintah menyikapi tuntutan reformasi. Mencermati kondisi tersebut maka dalam pembahasan ini akan menjelaskan apa yang menjadi landasan dan latar belakang pemikiran tentang upaya Koter di daerah dihadapkan pada perkembangan situasi saat ini, seperti dibahas dalam tulisan berikut ini.

7. Landasan Hukum. Secara hukum ( de yure ) keberadaan Koter tidak memiliki landasan yang kuat. Keberadaannya hanya berlandaskan pada kelembagaan TNI sebagai pemegang peran dan fungsi pembinaan teritorial, konsekwensi logis dari TAP MPR nomor: VII Tahun 2000 dan sistim pertahanan yang dianut secara nasional. Hal ini memberikan fakta bahwa keberadaan Koter nyata dan dibutuhkan adanya ( de facto ). Tetapi apabila dikaji secara substansial dihadapkan pada tuntutan sistem pertahanan yang dianut, maka keberadaan Koter merupakan hal yang logis dengan pertimbangan geografi, demografi dan kondisi sosial yang ada. Dengan pertimbangan tersebut maka UUD 1945 pasal 30, UU no 20/Tahun 1982 serta perundang-undangan lainnya secara hukum dapat dijadikan acuan keberadaan Koter, namun demikian perlu adanya landasan hukum yang mengikat lebih kuat dalam operasionalnya.

8. Landasan Operasional. Doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta merupakan landasan operasional Koter dalam menyiapkan seluruh potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang.

/Koter. . . . . . .
Koter sebagai pembina teritorial akan berhadapan pada unsur geografi, demografi dan kondisi sosial masyarakat sebagai akibat dari permasalahan yang timbul pada kedua unsur sebelumnya. Penyiapan potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang sebagai persyaratan wilayah pertahanan yang sengaja dipersiapkan, sehingga memiliki ketahanan menghadapi bentuk ancaman yang ada, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Dengan adanya landasan operasional tersebut telah menempatkan Koter pada posisi yang dibutuhkan pada sistim pertahanan negara sebagai instrumen yang menyiapkan unsur pertahanan yang dikehendaki sesuai doktrin yang dianut.

9. Tuntutan Sebagaian Kelompok Masyarakat agar Koter Dibubarkan. Melalui para pakar dan bahkan pejabat birokrasi telah menyampaikan berbagai sumbang pemikiran tentang keberadaan Koter. Pada dasarnya para pemikir, baik dari intelektual sipil maupun militer, telah menyuarakan adanya tuntutan pembubaran terhadap Koter, karena disinyalir akan mampu mempengaruhi netralitas TNI dalam bidang politik untuk jangka panjang. Demikian gencarnya tuntutan tersebut, bahkan telah dirancang dalam suatu sistim periode jangka pendek, menengah dan panjang yang sangat sistematis mulai dengan rencana pembubaran Koter di Aceh dalam jangka pendek, Babinsa, Koramil dalam jangka menengah dan Kodim, Korem dan Kodam dalam jangka panjang ( Kompas, tanggal 25 Nopember 1999). Tuntutan ini, seperti halnya tuntutan serupa untuk peran sospol tidak bisa dianggap sepele, karena mengacu pada norma universal terutama di negara-negara maju. Nampaknya tuntutan tersebut akan semakin keras seiring dengan proses demokratisasi yang memang sedang derasnya bergulir di Indonesia.

10. Otonomi Daerah. Pelaksanaan Undang-Undang No.22/Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah segera dilaksanakan pada 1 Januari 2001.

/Kondisi. . . . . . . .
Kondisi ini menempatkan Pemda sebagai penguasa tunggal dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola potensi wilayah untuk kepentingan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagian kewenangan yang ada tersebut sudah biasa dilakukan oleh TNI dan Polri dan mengingat ada pengalihan wewenang penuh kepada Pemda, maka perlu adanya ketentuan baru yang mengatur, sehingga ada ketegasan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan di daerah, khususnya keterlibatan pimpinan TNI dan Polri di daerah sebagai unsur Muspida.

11. Likuidasi Beberapa Departemen oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah pusat dalam Kabinet Pemerintahan Presiden K.H. Abdulrahman Wahid saat ini, telah melikuidasi beberapa departemen diantaranya adalah Departemen Penerangan, Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga, Departemen Sosial dan beberapa departemen serta instansi lainnya. Adapun visi pembubaran departemen dan instansi tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai motivator dan dinamisator saja. Dengan visi tersebut secara kelembagaan tidak ada lagi campur tangan birokrasi dalam pembinaan fungsi tersebut. Diharapkan masyarakat dengan LSM yang ada di daerah akan melakukan pembinaan dan pengembangan fungsi tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sendiri. Kenyataan yang ada pada dasarnya di negara maju fungsi tersebut pada umumnya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

KONDISI SAAT INI

12. Umum. Keberadaan Koter saat ini, secara de fakto dan dalam peksanaan kegiatannya telah menunjukan hasil yang baik dengan mekanisme koordinasi yang dilaksanakan selama ini.
/Keterlibatan. . . . . . .
Keterlibatan Koter dalam hal ini adalah dalam rangka membina potensi wilayah yang terdiri dari unsur geografi, demografi dan kondisi sosial setempat. Pelaksanaan pembinaan potensi wilayah tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh Koter, melainkan bersama-sama dengan komponen masyarakat lainnya, baik dari infra maupun supra struktur. Sejauhmana keterlibatan Koter dalam upaya mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah saat ini akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

13. Mendorong Fungsi Penerangan. Koter seperti halnya pada tingkat Kodam dan Korem saat ini, secara struktural memiliki kelembagaan di bidang penerangan yang disebut Penerangan Kodam dan Penerangan Korem masing-masing untuk tingkat Kodam dan Korem. Dikaitkan dengan peran pembinaan teritorial sebagai pembina potensi wilayah, maka unit penerangan baik pada tingkat Kodam maupun Korem telah memerankan fungsinya sebagai pembina insan pers di daerah dengan dibantu oleh unsur staf lain seperti staf intelijen dan terorial. Keberadaan unit penerangan hanya terbatas pada upaya peliputan kegiatan pada lingkup Kodam maupun Korem serta koordinasi dengan insan penerangan lainnya dalam tahap publikasi. Sementara itu dalam era reformasi ini, nampaknya fungsi penerangan untuk unit penerangan yang ada, baik di Kodam maupun Korem dituntut lebih berperan aktif sebagai insan yang mampu mempublikasikan program TNI di media masa secara keseluruhan. Sedangkan fungsi sebagai pembina insan pers dan penerangan, semakin sulit diperankan dihadapkan pada tuntutan keterbukaan, kebersamaan dan kesetaraan serta citra TNI yang kurang mendukung saat ini.

14. Mendorong Fungsi Olah Raga. Secara umum banyak sumbangan tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh prajurit TNI dalam pembinaan prestasi olah raga nasional.
/Pimpinan. . . . . . . .
Pimpinan berbagai cabang pembinaan olah raga dipegang oleh prajurit TNI khususnya para perwira tinggi dan menengah, berbagai kesebelasan, regu bola voli dan lain-lain telah menampilkan prajurit TNI sebagai atlitnya dan telah menunjukan prestasinya di tingkat nasional. Kondisi ini secara sepintas cukup memberikan kesan citra baik pada TNI. Tetapi bila dicermati lebih jauh, cukup banyak borok yang diperbuat oleh unsur pimpinan dalam mengelola sumber daya yang ada di bawah binaannya. Kasus penyelewengan dana di cabang pembinaan olah raga gulat beberapa waktu lalu telah menjadi kasus nasional yang telah mencoreng citra baik TNI. Dalam pengumpulan dana untuk kegiatan pembinaan cabang olah raga dapat dipastikan memanfaatkan nama pimpinan TNI sebagai pembina cabang olah raga tersebut yang memang memiliki kedudukan cukup tinggi untuk menarik dana dari masyarakat. Di satuan terjadi tindakan manipulatif dalam manajemen pembinaan jasmani prajurit. Sering terjadi karena ingin mengejar prestasi, penyusunan organisasi satuan didasari oleh kepentingan sesaat. Sebagai contoh dibentuk kompi yang khusus menyiapkan personil untuk menghadapi pertandingan olah raga, kompi khusus untuk korve dan karya bakti, kompi khusus untuk tugas jaga dan lain sebagainya. Dengan pola ini sasaran pokok untuk menyiapkan satuan siap operasional tidak pernah tercapai. Tuntutan tugas pokok satuan dalam keadaan damai adalah berlatih dan berlatih untuk siap operasi, bukannya mencetak atlit, menjadi tukang bersih kota dan petugas dinas dalam.

15. Mendorong Fungsi Sosial. Kegiatan di bidang sosial yang telah dilaksanakan oleh TNI telah mampu mengangkat citra baik TNI pada masanya. Program AMD (sekarang TMD) telah mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat di desa. Berbagai kegiatan sosial seperti Karya Bhakti, Bhakti Sosial, Manunggal Kesehatan dan lain-lain kegiatan manunggal yang dilaksanakan TNI telah memberikan nilai positif terhadap kiprah TNI di tengah masyarakat.
/Bila. . . . . . . .
Bila dicermati lebih jauh, hasil TMD yang pernah dirasakan masyarakat pedesaan sebagai berkah dari pengabdian TNI, ternyata tidak berbekas setelah masyarakat mengalami kemajuan dalam membangun dirinya. Hal ini disebabkan karena sasaran TMD lebih banyak sasaran fisik dan kurang memiliki nilai strategis. Kita masih belum lupa bagai mana dalam sekejap pos kamling yang nota bene hasil karya TMD, dalam era reformasi telah berubah menjadi posko PDI Perjuangan. Sementara itu keterlibatan TNI dalam kegiatan manunggal, secara nyata telah mengambil alih peran instansi lain. Di sisi lain bahkan tidak jarang komplek perumahan TNI banyak yang terkesan kumuh dan tidak terurus. Masih cukup banyak prajurit yang terpaksa harus mengontrak di daerah kumuh yang sebenarnya tidak layak bagi prajurit, tetapi kondisi itulah terjangkau oleh penghasilan mereka. Melihat kenyataan ini, masihkah TNI terobsesi untuk memprogramkan kegiatan diluar lingkup penugasan, sementara kesejahteraan prajurit TNI sendiri membutuhkan perhatian yang sangat serius.

16. Dari uraian tersebut diatas nampak bahwa upaya mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial yang dilakukan oleh Koter di masa lalu hingga saat ini masih dalam kerangka mendukung peran sosial politik TNI. Keterlibatan TNI dalam mendorong fungsi tersebut sangat sarat dengan nuansa kepentingan politik. Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat dalam segala bidang, serta tuntutan profesionalisme prajurit TNI, perlu kiranya dicari formula baru dalam pelibatan Koter dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial dalam masyarakat di masa depan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

17. Umum. Era globalisasi telah memunculkan isu demokratisasi, lingkungan hidup dan HAM, yang telah mendorong terjadinya perubahan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dengan agenda reformasinya telah mengetengahkan tiga agenda yaitu demokratisasi, hukum dan HAM. /Reformasi. . . . . . . .
Reformasi yang terjadi di Indonesia telah memberikan suasana lain dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia secara umum dan khususnya di daerah. Perubahan suasana tersebut menyebabkan terjadinya perubahan kebijaksanaan yang sangat mendasar terutama masalah sistim pendekatan yang ditempuh dalam pembangunan. Pendekatan keamanan menjadi tidak begitu populer di masyarakat. Bahkan tidak jarang terjadi masyarakat mulai berani melecehkan aparat yang sedang bertugas dengan ucapan dan teriakan yang sungguh menyakitkan hati. Semua perubahan yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam masyarakat dan lingkungannya sebagai akibat perubahan global yang terjadi, dihadapkan pada peran Koter di daerah akan dibahas dalam bahasan berikut ini.

18. Faktor Ekstern.

a. Kendala. Perkembangan situasi dunia saat ini dengan isu globalnya dan perkembangan situasi dalam negeri Indonesia dengan era reformasinya telah memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpikiran kritis dan ingin membawa Indonesia dalam suasana sistim Liberal. Indikasi kearah ini sangat jelas kelihatan, berupa keberanian untuk menghujat jajaran suprastruktur yang ada dan bahkan tanpa kecuali infrastruktur sekalipun. Hal semacam ini sangat tidak mungkin diketemukan pada era sebelum reformasi. Keberhasilan menghapuskan Dwifungsi ABRI terutama peran sosial politik TNI, telah mendorong mereka untuk berusaha menghilangkan peran teritorial dan intelijen TNI, untuk selanjutnya dialihkan peran tersebut kepada pemerintahan sipil.


/Tekanan. . . . . . . .
Tekanan masyarakat internasional terhadap keberadaan TNI diarahkan pada masalah pelanggaran HAM, sehingga TNI menjadi sangat tidak populer di mata masyarakat Indonesia. Pada tingkat daerah isu reformasi terutama dengan dihapuskannya fungsi Sospol telah memberikan penilaian yang keliru dalam melihat Koter dan jajarannya. Sementara itu dengan diberlakukannya UU no. 22/ tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengelola semua bidang pemerintahan wilayahnya kecuali bidang peradilan, kebijaksanaan moneter, hubungan luar negeri dan pertahanan. Di lain pihak dengan adanya perubahan Departemen Hankam menjadi Departemen Pertahanan, maka akan menempatkan Koter pada posisi yang semakin kurang berperan dilihat dari tataran kewenangan pemerintahan di daerah. Dalam jangka pendek yang akan menjadi kendala adalah belum adanya perundang-undangan yang mengatur peran Koter dalam mendorong fungsi pembinaan masyarakat. Dalam kerangka mendukung kegiatan mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah, TNI tidak berorietasi pada profesionalisme prajurit, tetapi cenderung pada aspek kepentingan politik sesaat. Sementara itu dihapuskannya beberapa departemen dan instansi di pemerintahan, telah memberikan visi baru dalam pembinaan masyarakat, bukan lagi oleh birokrasi tetapi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan perubahan visi ini, maka Koter harus menentukan formulasi baru dalam Binter khususnya mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial terhadap masyarakat di daerahnya.

b. Peluang. Masyarakat internasional sebenarnya sangat menginginkan Indonesia dalam keadaan aman dan stabil, mengingat aset mereka, baik dalam bentuk saham, perusahaan dan investasi lainnya cukup banyak di Indonesia. Mereka tidak mau kehilangan asetnya dan sekaligus pasar mereka yang potensial di Indonesia. /Dengan. . . . . . . .
Dengan demikian mereka sangat membutuhkan adanya TNI yang profesional dalam menjaga kedaulatan negara serta dapat menjamin keamanan aset dan potensi pasarnya. Sementara itu masyarakat sipil Indonesia sangat menyadari keberadaan TNI terlebih dalam situasi Indonesia saat ini yang terancam dalam situasi disintegrasi. Dengan adanya perubahan nama Departemen Hankam menjadi Departemen Pertahanan akan memberikan kejelasan bagi satuan Koter dalam memerankan dirinya sebagai pelaksana bidang pertahanan di daerah. Sehingga dalam menyiapkan potensi wilayah menjadi ruang alat dan kondisi juang dapat dikelola dengan baik asalkan memiliki dasar hukum yang jelas seperti perundangan dan aturan lainnya. Keterlibatan Koter dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah setelah tidak terlibatnya birokrasi dalam pembinaan secara langsung terhadap fungsi-fungsi tersebut dapat lebih berarti dan memiliki peluang yang besar apabila mampu menciptakan formulasi baru dalam Binter yang didasari oleh propesionalisme prajurit yang tinggi dan tidak lagi bernuansa politik.

19. Faktor Intern.

a. Kelemahan. Masa lalu TNI yang telah memainkan peran dalam kehidupan politik praktis dengan kedekatannya pada salah satu kekuatan sosial politik telah merusak citra TNI waupun dilakukan oleh sebagaian kecil personil TNI yang memiliki interes tertentu pada masalah politik. Dalam aplikasi kegiatan Koter diakui masih banyak terjadi penyimpangan karena faktor kesalahan manusianya belaka. Kualitas sumber daya manusia TNI tidak sepenuhnya dapat menunjang program kebijaksanaan pimpinan TNI. Piranti lunak yang ada cenderung tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan.

/Timbulnya. . . . . . . .
Timbulnya pemikiran kreatif dari personil TNI yang ingin melihat doktrin TNI dapat menyesuaikan dengan tuntutan keadaan yang berubah dengan pesat cenderung dilihat dari kaca mata negatifnya saja. Sementara itu walaupun ada pembatasan yang tegas dari pemerintah tentang peran TNI hanya pada masalah pertahanan saja, namun karena masih terbawa oleh pandangan akibat situasi masa lalu, maka diperkirakan pelaksanaan kegiatan Koter khususnya dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial dalam waktu dekat masih banyak menghadapi kendala. Selain itu keterbatasan sumber daya manusia yang ada dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan peluang yang ada, merupakan kelemahan struktural yang selama ini ada dan patut dicarikan jalan pemecahannya.

b. Kekuatan. Keberadaan TNI sampai dengan saat ini secara kelembagaan masih sangat solid. Hal ini merupakan jaminan dan harapan masyarakat, baik di mata dunia internasional maupun di tingkat nasional dan daerah. Dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI sebenarnya telah menimbulkan kekuatan baru dalam diri personil TNI secara keseluruhan. Personil tidak lagi ragu-ragu dalam bertindak, sebab visi dan misi TNI sangat jelas untuk kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di lain pihak TNI khususnya TNI AD dan jajaran Koter di daerah akan dapat melaksanakan kegiatan sebagai insan Koter apabila ditingkatkan profesionalismenya dan didukung dengan landasan yang jelas seperti perundang-undangan, peraturan dan lain sebagainya. Sementara itu keteribatan Koter dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah telah terwadahi dengan organisasi dan kegiatan di lingkungan Koter selama ini.

/Keberadaan. . . . . . . .
Keberadaan lembaga penerangan di tingkat Kodam dan Korem secara kelembagaan telah memenuhi kepentingan tersebut, tetapi rumusan organisasi dan tugasnya perlu diformulasikan. Dalam pembinaan fungsi olah ragapun secara kelembagaan sudah terpenuhi dan bahkan kegiatannya jauh lebih maju dibandingkan dengan penerangan. Masalahnya peranan lembaganya belum maksimal dan kegiatannya belum mendukung profesionalisme prajurit dalam menghadapi tugas. Demikian pula untuk fungsi sosial baik secara kelembagaan telah ditangani oleh staf teritorial, sedangkan kegiatannya masih perlu perumusan baru sehingga tertunjang oleh profesionalisme prajurit.

ANALISIS ANTARA HARAPAN DAN KEMUNGKINAN

20. Umum. Mencari formulasi baru tentang upaya Koter dalam rangka mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah akan lebih konfrehensif apabila dilakukan melalui suatu proses berpikir yang jernih dengan menggunakan kemampuan analisis yang konfrehensif dan integral. Dalam situasi nasional seperti saat ini dibutuhkan adanya pemahaman oleh seluruh komponen masyarakat termasuk insan prajurit TNI akan perlu adanya supremasi hukum, azas kebersamaan dan kebebasan yang dilandasi oleh perundang-undangan yang mengaturnya. Dengan adanya pemahaman tersebut diharapkan seluruh komponen masyarakat mampu menempatkan dirinya secara tepat sesuai dengan pembatasan yang diberikan pada dirinya dalam suasana kebebasan sebagai mana yang diharapkan masyarakat itu sendiri. Dilandasi oleh latar belakang pemikiran, kondisi upaya Koter mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah saat ini dan faktor yang mempengaruhi, maka dapat dirumuskan harapan dan kemungkinan keterlibatan Koter dalam upaya mendorong fungsi tersebut di daerah di masa depan.
/Keterlibatan. . . . . . .
Keterlibatan Koter di masa depan dalam mendorong fungsi tersebut agar berlandaskan profesionalisme prajurit dan tuntutan realitas masyarakat pada saat itu.

21. Mendorong Fungsi Penerangan. Selama era reformasi ini, kita sangat sadar bahwa TNI mendapat sorotan dalam bentuk hujatan dari berbagai pihak tanpa pernah mampu mengimbangi sorotan tersebut dalam bentuk pembelaan melalui media masa. Sorotan yang paling tajam kepada Koter dihadapkan pada keterlibatannya dalam masalah Binter secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa TNI ikut dalam kehidupan politik praktis. Sebagian masyarakat menolak keterlibatan TNI dalam kehidupan politik praktis karena kehadiran TNI akan menjadi hambatan dalam proses demokrasi di Indonesia. Kondisi ini sedang marak diperjuangkan, sehingga tidak memberikan ruang kepada TNI dalam membela diri, termasuk menampilkan fakta dan pengakuan dari pinpinan TNI, bahwa justru TNI-lah yang memelopori proses demokratisasi di Indonesia saat ini. Koter dianggap oleh sebagian kolompok masyarakat sebagai institusi yang menempatkan dirinya sebagai pembina dan berada diatas masyakat, sehingga bertentangan dengan azas kebersamaan dan kesetaraan yang dituntut selama ini. Di lain pihak keterlibatan TNI dalam berbagai kegiatan untuk menangani masalah di beberapa daerah yang bergolak telah dijadikan wahana untuk memojokan TNI dengan tuduhan telah terlibat pada pelanggaran HAM. Berbagai masalah internal TNI mulai dimasuki oleh pihak luar untuk sekedar membuktikan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan manajemen di lingkungan TNI. Semua pemberitaan tersebut terasa sangat memojokan TNI yang memang sudah terpojok dengan masa lalunya. Lebih ironis lagi, sangat sedikit peluang dari TNI untuk melakukan upaya pemberitaan yang bertujuan untuk mengimbangi pemberitaan tersebut. Hal ini terjadi selain karena peluang untuk memberikan bahan pemberitaan yang berimbang belum memungkinkan dihadapkan pada kondisi yang ada.
/Disamping. . . . . . . .
Disamping itu insan penerangan yang ada di Koter belum memiliki kemampuan yang handal dan tidak disiapkan secara profesional untuk hal demikian. Di samping itu ada pembatasan yang diberikan oleh pimpinan dalam kewenangan untuk memberikan siaran pers atau memberikan penjelasan di media massa. Dengan pembatasan tersebut menjadi lengkaplah keterbatasan bagi insan penerangan dalam meningkatkan dan mengembangkan profesionalismenya.

Menyikapi kondisi tersebut diatas, ada baiknya mempertimbangkan kembali untuk memerankan insan penerangan yang ada di Koter, dengan tidak meninggalkan prinsip kerja yang telah dinilai positif selama ini. Keterbatasan yang ada bersumber pada kualitas sumber daya manusia dan belum adanya insan penerangan yang disiapkan secara khusus untuk menjadi insan pers. Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila Koter di daerah memiliki insan pers seperti layaknya wartawan: Pertama, Koter mampu memberikan pemberitaan yang berimbang dan sesuai dengan kebijakan pimpinan. Sebab wartawan yang telah dipersiapkan, karena berasal dari prajurit TNI memiliki pendalaman yang baik tentang TNI dengan segala permasalahan yang akan dihadapi. Kedua, peran wartawan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencarian berita untuk kepentingan intelijen yang memiliki mekanisme kerja yang sinergis dengan fungsi inteljen. Ketiga, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan “public relation” dalam rangka publikasi kegiatan kepada masyarakat. Keempat, memberikan kesejahteraan tambahan kepada insan penerangan dalam pengabdiannya sebagai prajurit/PNS dilingkungan TNI. Kelima, terjadi korelasi antara tuntutan propesionalisme dari prajurit yang bertugas di bidangnya, dihadapkan pada tuntutan untuk mendorong peran penerangan di daerah. Resiko yang terjadi sebagai akibat pembentukan insan pers di unit Penerangan yang ada di Koter, berkisar pada penyiapan personil dan pemberdayaannya dengan dukungan dana yang mungkin cukup besar. Tetapi bila dihadapkan pada keuntungan akan diperoleh jauh lebih besar dari resiko yang akan dihadapi. /22. Mendorong. . . . . . . .
22. Mendorong Fungsi Olah Raga. Keberadaan Pejabat TNI selaku pembina pengurus olah raga memang cukup baik dan memberikan nilai positif bagi kemajuan pembinaan olah raga secara keseluruhan di Tanah Air. Namun demikian ada kesan, bahwa selama ini semua pekerjaan diambil alih oleh TNI, sehingga perlu adanya pembatasan kegiatan pembinaan pada kegiatan yang memiliki relevansi dengan upaya meningkatkan profesionalisme prajurit itu sendiri. Peran Koter yang didukung oleh prajurit TNI dalam meningkatkan jiwa bela negara masyarakat seperti olah raga bela diri, pendaki gunung, pecinta alam, menembak, terjun payung dan lain sebagainya sangat sinergis dengan tuntutan profesialisme prajurit dalam menjalankan tugasnya. Mekanisme kegiatan pembianaan selain memanfaatkan personil Koter di daerah baik yang aktif maupun yang sudah purna tugas selaku tenaga pembina, maka secara organisasi dapat diserahkan kepada ormas binaan Koter yang ada di daerah. Sedangkan kegiatan pembinaannya perlu dikembangkan pada bentuk hiburan yang dapat memberikan rasa tertarik pada dunia keprajuritan seperti “ permainan keprajuritan “ yang telah dikembangkan di beberapa negara maju. Dengan demikian, maka selain mampu memberikan wadah untuk mendekatkan TNI dengan masyarakat di daerah juga dapat dijadikan wadah pembinaan akan kesadaran bela negara yang cukup baik. Karena secara tidak sadar sambil berprestasi dan menghibur diri, maka masyarakat diajak dekat dengan situasi keprajuritan yang mampu menciptakan rasa bangga akan negara dan bangsanya.

Sementara itu kegiatan prajurit dibidang olah raga diarahkan pada olah raga yang menunjang tugas pokok TNI sebagai prajurit seperti bela diri, menembak dan olah raga lainnya. Dalam bidang olah raga bela diri setiap prajurit TNI selain menguasai dengan baik salah satu bela diri juga harus mampu menjadi pelatih atau instruktur.

/Dengan. . . . . . . .
Dengan memiliki kemampuan yang handal dan mampu sebagai pelatih bela diri, maka setiap prajurit TNI yang akan bertugas di Koter akan tertunjang kemampuannya sebagai pembina masyarakat yang disegani. Sebab melalui pembinaan bela diri dapat diberikan materi pembinaan teritorial kepada masyarakat di di wilayah binaannya. Selain itu masyarakat akan segan dengan keberadaan setiap personil Koter di daerah yang selain memiliki kemampuan, juga berwibawa serta dibutuhkan oleh masyarakat. Di bidang olah raga menembak, prajurit TNI dapat menjadi pelopor dalam membina olah raga menembak di daerah, apabila setiap personil TNI yang bertugas dilingkungan Koter memiliki kemampuan menembak dan sebagai pelatih menembak dengan baik. Di masa yang akan datang olah raga menembak akan menjadi populer seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan yang dicapai masyarakat di daerah. Kondisi ini sangat memungkinkan mengingat tuntutan setiap prajurit TNI harus mahir dalam menggunakan senjatanya akan sangat mendorong dengan tuntutan tugas pembinaan fungsi olah raga di daerah.

Olah raga lain yang perlu dikembangkan adalah olah raga yang ada relevansinya dengan profesi di lingkungan TNI seperti terjun payung, panjat tebing, berenang, dayung dan berbagai jenis cabang atletik. Selain kegiatan olah raga dalam cabang tersebut dapat mendorong untuk meningkatkan profesionalisme prajurit, juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembinaan oleh Koter pada masyarakat. Sedangkan cabang olah raga umum seperti sepak bola, bola voli, bulu tangkis dan lain-lainnya, apabila dituntut untuk berprestasi, selain tidak mendukung peningkatan profesionalisme prajurit, juga dapat menimbulkan manipulasi dalam manajemen pembinaan prajurit di satuan yang sangat menyimpang dari tugas pokok satuan.

23. Mendorong Fungsi Sosial. Kegiatan TNI Manunggal yang dilaksanakan TNI selama ini secara fisik sangat dirasakan oleh masyarakat, sehingga kehadirannya sangat dibutuhkan. /Namun. . . . . . . .
Namun di lain pihak kegiatan tersebut dituduhkan oleh sebagian kelompok masyarakat sebagai upaya TNI untuk tetap eksis dalam masalah sosial politik, tanpa mau melihat apa visi dan misi TNI sebenarnya. Apabila dicermati secara mendalam apa makna dan hakekat TNI Manunggal selama ini, sebenarnya mampu memberikan nilai strategis dalam upaya TNI menjaga kemanunggalan TNI dan rakyat. Tetapi kenyataannya, masyarakat dengan sangat mudah mengingkari apa yang sebenarnya mereka sudah nikmati dari hasil jerih payah yang dilakukan prajurit-prajurit TNI selama ini. Hal ini disebabkan apa yang dilakukan dalam kegiatan TNI Manunggal hanya menyentuh kulit dari permasalahan yang dihadapi masyarakat di pedesaan dan hanya bersifat sesaat. Secara nyata patut diakui bahwa hasil pembangunan pisik yang dibuat dalam TNI Manunggal yang tersisa setelah sekian tahun hanya berupa monumen belaka dan itupun sirna tanpa bekas disapu oleh derasnya laju pembangunan di pedesaan beberapa waktu lalu.

Di masa depan kegiatan manunggal perlu ditinjau kembali dengan melihat sasarannya yang bersifat strategis, berskala besar dan memiliki manfaat dengan durasi yang panjang. Bidang yang dapat dikelola di daerah seperti masalah hutan yang belum dikelola dengan maksimal dan sebelum terlambat perlu adanya langkah yang tepat dan terpadu untuk mengelola hutan di daerah. Dalam jangka panjang apabila Koter melalui peran Departemen Pertahanan mampu meyakinkan Pemda selaku pelaksana otonomi untuk mengelola hutan menjadi perkebunan, maka akan dapat berdampak besar terhadap citra Koter di masa depan. Disamping memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, maka hutan yang berubah fungsi menjadi areal perkebunan akan memberikan tata ruang yang baik untuk pemanfaatan ruang pertahanan wilayah. Di lain pihak pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sarana transportasi darat, agar dipelopori oleh Koter untuk merebut hati masyarakat yang dapat bernuansa luas dan menyeluruh.
/Patut. . . . . . . .
Patut diakui saat ini Koter sangat miskin akan penguasaan atas kedua sarana transportasi yang ada di daerah. Dengan penguasaan atas kedua prasarana transportasi tersebut selain menciptakan sistim transportasi yang baik dan memang sangat dibutuhkan saat ini, juga akan memberikan rasa aman kepada masyarakat yang selama ini sering terganggu oleh berbagai tindakan kriminal yang mengancam keselamatan mereka.

Kegiatan sosial lain yang memiliki relevansi dengan profesionalisme keprajuritan adalah kegiatan penyelamatan masyarakat dari bencana alam yaitu dalam wadah SAR. Kegiatan SAR selain sangat erat dengan profesi kemiliteran seperti kegiatan mengesan jejak, mencari titik sasaran di medan dan berbagai bentuk penyelamatan lainnya, juga akan sangat membantu masyarakat yang mengalami musibah bencana alam, kecelakaan dan lain sebagainya. Dengan kemampuan menguasai tehnik dan keterampilan SAR, maka Koter dapat menjadi tenaga kepelatihan bagi masyarakat dalam upaya untuk penyelamatan akibat bencana alam dan kasus kecelakaan lainnya. Mekanisme pembinaan terhadap masyarakat dapat ditempuh dengan kepelatihan langsung, pembinaan Kepramukaan dan latihan dasar keprajuritan bagi kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan. Dengan demikian keterlibatan setiap prajurit dari unsur Koter dalam pembinaan masyarakat untuk mendorong fungsi sosial memiliki relevansi dengan profesionalisme yang dimiliki oleh prajurit itu sendiri. Dengan demikian selain mampu memberikan sumbangan tenaga dan pikiran juga sekaligus dapat meningkatkan profesionalisme prajurit dalam bertugas. Hal ini jauh lebih baik dibanding mengerjakan tugas lainnya yang selain tidak dikuasai oleh prajurit, juga ada kesan telah mengambil alih fungsi dan peran instansi lain, serta tidak memiliki nilai tambah dalam peningkatan kemamampuan prajurit dalam mendukung pelaksanaan tugasnya.

/24. Piranti. . . . . . . .
24. Piranti Lunak. Kondisi piranti lunak yang mengatur keberadaan Koter di daerah sangat lemah, sehingga keterlibatan Koter dalam masalah pembinaan teritorial selalu dipertanyakan dan tidak ada landasan hukumnya. Mengkaitkan UUD 1945, Tap MRP nomor : VII Tahun 2000, UU No. 20/Tahun 1982 dan ketentuan lainnya memang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar keberadaan Koter sebagai lembaga suprastruktur di daerah, tetapi keberadaannya tidak dilandasi dengan perundang-undangan yang kuat dan memberikan kewenangan dan tanggungjawab yang jelas. Hal ini perlu diupayakan mengingat di masa depan supremasi hukum akan ditegakan secara tegas. Di samping itu untuk mengantisipasi tuntutan masyarakat terhadap Koter dalam menjalankan tugas, karena keberadaan Koter tidak diakui memiliki azas legalitas. Dengan dilandasi oleh perundang-undangan yang jelas seperti dalam bentuk minimal undang-undang, maka piranti lunak yang lainnya dalam bentuk petunjuk operasional lainnya akan bisa dibuat dan mengacu pada kerja sama dengan instansi lainnya. Melalui piranti lunak tersebutlah dapat dituangkan berbagai bentuk kegiatan pembinaan fungsi dalam masyarakat yang perlu dorongan Koter di daerah. Dengan demikian maka setiap lembaga yang ada dan terkait dalam pembinaan fungsi dalam masyarakat di daerah dapat dibuatkan “memorandum of understanding” yang disepakati antar depatemen, sehingga ada pembagian secara tegas tentang kewenangan dan tugas masing-masing. Keberadaan Koter di daerah tidak lagi menjadi alat pemadam kebaran yang merasa semua harus ditangani, tetapi satupun tidak tertangani dengan baik pada akhirnya. Dengan adanya piranti lunak tersebut diharapkan semua instansi memiliki porsi yang jelas dan saling bertanggungjawab sesuai dengan bidangnya masing-masing. Berlaku azas kebersamaan, kesetaraan dan saling menghormati antarinstansi dan dengan yang lainnya. Pada akhirnya mekanisme kegiatan dalam membina teritorial dapat berjalan dengan baik.


/KESIMPULAN. . . . . . . .

KESIMPULAN DAN SARAN

25. Kesimpulan. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa upaya Koter dalam rangka mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah perlu ditinjau dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan tugas dan perkembangan masyarakat dimasa depan. Peninjauan dan perumusan tersebut perlu dilakukan untuk menyelaraskan antara tuntutan profesionalisme yang harus dimiliki oleh TNI dengan sumbangan tenaga dan pikiran oleh setiap prajurit Koter untuk mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah. Akan lebih tegas lagi apabila keterlibatan TNI dalam kegiatan mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial di daerah memiliki landasan hukum berupa perundang-undangan yang jelas. Konsekuansi dari hal diatas adalah TNI melalui unsur Koter yang ada di daerah harus meningkatkan profesionalisme setiap personilnya, sehingga hasil yang dicapai maksimal dan dirasakan oleh masyarakat manfaatnya. Materi pembinaan yang dilakukan Koter untuk mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial lebih selektif dan memiliki relevansi dengan profesionalisme yang ada pada prajurit.

26. Saran. Melalui pembahasan tersebut diatas, maka untuk dapat mengoptimalkan peran Koter di daerah dihadapkan dengan perkembangan di masa depan, khususnya dalam mendorong fungsi penerangan, olah raga dan sosial dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :

a. Perlu ditingkatkan secara struktur dan kewenangan peran unsur penerangan Koter yang ada di daerah, yang selama ini hanya sekedar melaksanakan koordinasi dengan insan pers dan instansi lainnya, menjadi memiliki personil sebagai wartawan.
/Dengan . . . . . . .

Dengan kemampuan yang dimiliki dapat mencari data, menyusun tulisan dan mempublikasikan berbagai kebijaksanaan TNI yang menjadi wewenang Koter untuk disampaikan kepada masyarakat di daerah. Dan apabila memungkinkan Koter dengan kewenangan dan dukungan yang terbatas mampu membuat media tersendiri untuk meramaikan wahana penerangan di daerah.

b. Dalam pembinaan olah raga setiap personil TNI yang akan bertugas di Koter harus menguasai cabang olah raga tertentu untuk mendukung tugas pembinaan di daerah. Adapun cagang olah raga yang wajib adalah salah satu cabang bela diri, menembak, olah raga yang ada kaitannya dengan profesi kemiliteran seperti terjun payung, dayung dan lain sebagainya. Setiap markas satuan dapatnya membentuk wadah pembinaan dan menjadi pusat latihan berbagai jenis cabang olah raga. Disamping itu dapatnya setiap daerah di bentuk pusat kegiatan permainan keprajuritan yang memadukan unsur bisnis dengan rekreasi..

c. Dalam pembinaan fungsi sosial dapatnya kegiatan sosial yang dilakukan Koter memiliki relevansi dengan profesionalisme yang dimiliki oleh prajurit TNI. Kegiatan yang disarankan meliputi penetapan sasaran TMD yang bersifat strategis dan berskala besar, pembentukan unit SAR di setiap satuan, mendorong semangat bela negara melalui latihan kepramukaan dan latihan dasar keprajuritan serta setiap saat dapat memberikan bantuan kepada masyarakat yang mengalami musibah bencana alam.

/PENUTUP. . . . . . . .




PENUTUP

27. Demikian tulisan ini dibuat untuk dapatnya dijadikan sebagai bahan masukan kepada Komando Atasan, dengan harapan dimasa depan Koter tetap merupakan ujung tombak pembinaan potensi wilayah menjadi kekuatan juang yang handal, sehingga peran teritorial diterima keberadaannya oleh masyarakat secara proporsional.

Palangka Raya, 2 Desember 2000

KEWENANGAN SATUAN TERITORIAL

KEWENANGAN SATUAN TERITORIAL
DALAM MENGHADAPI KEADAAN DARURAT
DI WILAYAH



PENDAHULUAN


1. Umum. Dunia saat ini telah memasuki suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar bangsa yang semakin mendalam serta globalisasi dan saling keterkaitan antar masalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II, mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya.

Perubahan mendasar telah terjadi di kawasan Asia yang dilanda krisis moneter, yang selanjutnya telah membawa bangsa-bangsa di kawasan mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Indonesia tidak luput dari perubahan tersebut, terlebih krisis ekonomi telah membawa bangsa ini kepada krisis multidimensional yang pada akhirnya telah melahirkan reformasi sebagai wujud dari ketidak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu. Reformasi telah dijadikan sebagai salah satu agenda nasional untuk melakukan perubahan-perubahan di Indonesia dengan mengedepankan masalah demokratisasi, penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu.
/Berbagai. . . . . . .


Berbagai perubahan telah dilakukan sebagai realisasi dari reformasi yang telah disepakati bersama, walaupun masih banyak kalangan yang belum puas dengan proses reformasi dan hasil yang ingin dicapai sampai dengan saat ini.

TNI sebagai salah satu komponen bangsa tidak luput dari proses reformasi dalam rangka menuju Indonesia Baru. Pemisahan TNI dan Polri serta Pembagian peran TNI dan Polri telah diatur dalam Ketetapan MPR RI yaitu nomor : VI Tahun 2000 dan Nomor : VII Tahun 2000, telah memisahkan secara tegas peran kedua institusi tersebut. Dengan adanya ketetapan MPR tersebut, sementara undang-undang dan ketentuan yang lain di bawahnya masih belum diganti dan bahkan mungkin sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, menyebabkan prajurit TNI tidak memiliki pedoman dan seperti ada keraguan dalam bertindak. Hal ini tidak boleh terjadi dan perlu segera ditentukan jalan pemecahan yang tepat, agar prajurit TNI selaku unsur pelaksana tidak menjadi tumbal kesalahan prosedur. Menyikapi hal tersebut, TNI AD dengan unsur-unsur yang berada di jajaran pembinaannya, khususnya Satuan Teritorial ( Satter ) sebagai unsur terdepan pelaksana pembinaan teritorial yang merupakan salah satu fungsi yang masih dianggap relevan diperankan oleh TNI AD hingga saat ini, belum memiliki kewenangan yang jelas tentang tugas yang diemban berkaitan dengan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. Pertikaian yang terjadi selama ini baik di Sampit, Maluku, Aceh maupun Irian Jaya telah menempatkan TNI pada posisi yang tidak jelas dan sangat mudah disalahkan. Belajar pada pengalaman dalam menghadapi pertikaian antar etnis di Sampit, Kalteng beberapa waktu lalu, tulisan ini mencoba untuk mencari dan menemukan kewenangan apa yang perlu dimiliki Satter dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah, dihadapkan pada kemungkinan perkembangan di masa depan.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang ketentuan keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki oleh satuan teritorial dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah.

b. Tujuan. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan di masa depan, terutama berkaitan dengan ketentuan keadaan darurat dan kewenangan satuan teritorial dalam menghadapi keadaan darurat.
/3. Ruang. . . . . . .

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi ketentuan keadaan darurat, kewenangan Satter sebagai komponen TNI AD dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah dihadapkan dengan perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut sebagai berikut :
a. Pendahuluan.
b. Landasan dan Latar Belakang Pemikiran
c. Ketentuan Keadaan Darurat dan Kewenangan Satter Saat Ini.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi.
e. Analisis Kewenangan Satter dalam Keadaan Darurat.
f. Kesimpulan dan Saran.
g. Penutup.

4. Metode dan Pendekatan. Tulisan ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan dan pengalaman langsung di lapangan.


LANDASAN DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

5. Umum. Keberadaan dan integritas Satter di daerah dalam beberapa tahun terakhir ini sangat baik dan dibutuhkan pada saat itu. Hal ini disebabkan karena Satter dapat memfungsikan dirinya di tengah masyarakat yang memang membutuhkan keberadaannya. Seiring dengan perubahan zaman khususnya di era reformasi saat ini, keberadaan Satter mulai dipertanyakan dan bahkan ada tuntutan sebagian komponen bangsa ini menghendaki agar Satter dibubarkan. Hal ini terjadi selain sebagai imbas dari keterlibatan TNI dalam masalah politik praktis di masa lalu, juga sebagai akibat dari adanya penyimpangan yang dilakukan personil Satter di tengah masyarakat, yang tidak lagi berpijak pada kepentingan masyarakat. Di sisi lain dengan adanya Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri telah memberikan nuansa baru tentang pemahaman pertahanan dan keamanan, yang hingga saat ini masih dalam proses penataan. Mencermati kondisi tersebut, dalam pembahasan ini akan menjelaskan apa yang menjadi landasan dan latar belakang pemikiran tentang kewenangan Satter di wilayah dalam keadaan darurat dihadapkan pada perkembangan situasi saat ini.

/6. Landasan. . . . . . .

6. Landasan History. Sejarah perjalanan Bangsa Indinesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah melalui proses perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa ini harus berjuang keras untuk mengusir kembali penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Pada tahun itu pula upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut dan dalam rangka menghadapi kedatangan tentara Sekutu yang diikuti oleh NICA ke Indonesia, pemerintah telah menyatakan Indonesia dalam keadaan Darurat Perang. Sedangkan Darurat Militer pernah dilaksanakan pada tahun 1948 ketika Belanda melaksanakan agresi ke II dan antara tahun 1955 s/d tahun 1960 sehubungan dengan banyaknya pemberontakan bersenjata yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Pemberlakuan Darurat Sipil pernah dilakukan di beberapa kota di Jawa Tengah pada tahun 1978 dalam mengatasi masalah Malari. Sedangkan di Ambon hingga saat ini masih berlaku Darurat Sipil. Terlepas dari efektif atau tidaknya, keadaan darurat telah pernah dan saat ini sedang diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia.

7. Landasan Hukum. Satter sebagai bagian dari TNI AD memiliki peran dan tugas sama seperti peran dan tugas yang diberikan kepada TNI, tetapi dibatasi pada lingkup wilayah. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dijelaskan bahwa, Pertama, “ TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan NKRI “.[1] Kedua, “ TNI sebagai alat pertahanan negara, bertugas menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.[2] Dengan adanya peran dan tugas yang diberikan negara kepada TNI, maka perlu adanya penjabaran lebih jauh tentang kewenang yang dimiliki oleh TNI terutama Satter dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah. Tentang kewenangan secara umum bagi aparat dan pejabat saat diberlakukannya keadaan darurat diatur dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (KB). Sementara itu RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) sebagai pengganti Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 masih belum disyahkan karena mendapat tentangan dari beberapa pihak. Secara umum isi dari kedua peraturan tersebut relatif sama, tetapi jauh lebih lunak isi RUU PKB dibandingkan dengan Perpu KB.
/8. Otonomi. . . . . . .

8. Otonomi Daerah. Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara nasional telah berlaku mulai 1 Januari 2001. Kondisi ini menempatkan Pemda sebagai penguasa tunggal dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola potensi wilayah untuk kepentingan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan yang tidak dilimpahkan kepada daerah sesuai UU RI Nomor :22 Tahun 1999 Pasal 7 (1) “ Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain”.[3] Sementara itu kewenangan Pemda dibidang Hankam di daerah sesuai UU RI Nomor:22 Tahun 1999 Pasal 10 (2) “e. bantuan penegakan keamanan dan kedaolatan negara”[4]. Dalam hal ini Pemda bersifat membantu aparat yang bertugas di bidang Hankam. Kewenangan berada di pusat dan dapat dilimpahkan kepada aparat pusat yang berada di daerah.

9. Pertikaian Antaretnis di Kalteng. Pertikaian antaretnis yang terjadi di wilayah Kalteng beberapa bulan terakhir ini telah menjadi isu nasional dan bahkan internasional. Secara nasional isu tersebut mengarah pada tudingan masyarakat indonesia kepada masyarakat Dayak pada upaya untuk merusak tatanan bingkai NKRI. Sedangkan secara internasional telah memberikan label pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Dayak pada khususnya sebagai manusia yang tidak beradab dan kanibalistis. Sementara itu simpati dan pertolongan berdatangan kepada masyarakat warga Madura yang mengungsi dan dianggap sebagai korban kebiadaban warga Dayak. Penanganan pertikaian antaretnis tersebut, banyak pihak yang menilai pemerintah lambat dalam bertindak, sehingga timbul banyak korban. Sementara itu upaya untuk penyelesaian lebih lanjut pertikaian tersebut, terbentur pada sikap Pemda yang menolak diberlakukannya keadaan darurat di wilayah Kalteng pada umumnya maupun Sampit khususnya. Akibat penolakan tersebut, maka jatuh korban terjadi lebih banyak, baik korban jiwa masyarakat yang tidak berdosa maupun korban harta benda masyarakat tanpa bisa dilindungi. Penolakan Pemda untuk diberlakukannya keadaan darurat di wilayah Kalteng, sangat bernuansa politik dan ada indikasi kuat Pemda memiliki kepentingan dalam kerusuhan tersebut.
/10. Bantuan. . . . . . .

10. Bantuan Militer pada Pertikaian Antaretnis di Kalteng. Kejadian pertiakaian antaretnis di Kalteng ternyata masih dikategorikan dalam keadaan tertib sipil, padahal korban jiwa yang meninggal 419 orang dan korban luka-luka 93 orang. sementara rumah yang dibakar 1.017 buah dan yang dirusak 287 buah. Mobil yang dibakar 19 buah dan sepeda moter 48 buah. Pengungsi dari suku Madura dan suku lainnya ke Jawa 71.113 jiwa[5] dan pengungsi suku Dayak dan suku lainnya ke Palangkaraya sekitar 6.122 jiwa. Sementara itu personil pengamanan dari Polri yang dilibatkan meliputi unsur Polda Kalteng, enam Polres yang berada di jajaran Polda Kateng, Tiga Kompi Satuan Brimob Polda Kalteng dan diperkuat oleh 12 SSK dari tiga Satuan Brimob dari Resimen Brimob Kelapa Dua Jakarta dan Polda Bali. Sementara itu bantuan militer yang diberikan baik karena permintaan dari Polda Kateng maupun dari Gubernur Kalteng terdiri dari 18 SSK dari empat Batalyon yaitu Yonif 412/Kostrad, Yonif 700/Linud, Yonif 612/Linud dan dua SSK dari Yonif 621, disamping satu SSK gabungan unsur Korem 102/PP dan empat SSK Yonif 631.[6] Dilihat dari jumlah kekuatan satuan yang ada, perbandingan antara satuan yang dibantu dengan yang membantu ternyata lebih besar kekuatan satuan yang membantu. Disisi lain, pengalaman dilapangan menunjukan bahwa Polri tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam mengatasi pertikaian antaretnis yang terjadi di Kalteng. Bahkan muncul masalah baru yaitu pertikaian antara etnis Dayak dengan Polri dan antara Polri dengan TNI AD yang sama-sama menimbulkan korban jiwa dan material cukup banyak. Pada saat terjadi kasus penembakan oleh SSK Brimob Kelapa Dua terhadap masyarakat pengunjuk rasa di Bunderan Besar Palangkaraya, masyarakat Dayak melakukan perlawanan dan berupaya untuk melakukan penyerangan besar-besaran terhadap konsentrasi seluruh personil Polri dan keluarganya yang berada di Mapolda Kalteng. [7] Dalam kondisi yang demikian, dimana unsur Polri tidak berani keluar Mapolda Kalteng dan tidak melakukan kegiatan apapun, kecuali bertahan di dalam Mapolda, Polri masih merasa mampu dan masih tetap mengatakan pengendalian keamanan berada di tangan Kapolda. Hal ini sungguh sangat ironis, tetapi karena masih dikehendaki berlaku tertib sipil, maka kondisi itu harus diterima sebagai suatu kenyataan.


/KETENTUAN. . . . . . . .

KETENTUAN KEADAAN DARURAT
DAN KEWENANGAN SATTER SAAT INI

11. Umum. Negara dimanapun di dunia memiliki perundang-undangan yang mengatur negara dengan landasan hukum dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa, khususnya menghadapi keadaan darurat. Terlebih negara berkembang seperti Indonesia, ketentuan tersebut sangat diperlukan dalam memberikan kepastian dan rasa keadilan bagi masyarakat. Bangsa Indonesia dalam perjalanannya telah beberapa kali memberlakukan keadaaan darurat sesuai dengan kondisi yang dihadapi saat itu. Sejauh mana ketentuan yang mengatur keadaan darurat dan kewenangan bagi aparat dalam situasi darurat saat ini, tulisan ini mencoba untuk mengedepankan kembali ketentuan keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

12. Ketentuan Keadaan Darurat. Berpedoman pada Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dapat diketengahkan hal-hal sebagai berikut :

a. Ketentuan keadaan darurat dibagi tiga macam, yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang.

b. Kewenangan dalam Darurat Sipil.
1) Tanggung jawab pemerintahan pada Gubernur dibantu Pejabat terkait didaerah.
2) Kewenangan.
a) Berhak mengadakan peraturan yang membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan.
b) Berhak memasuki, menyelidiki, menggeledah, mensita barang yang digunakan untuk mengganggu keamanan.
c) Mengetahui berita-berita, melarang/memutuskan berita-berita.
d) Membatasi/melarang pemakaian kode-kode, tulisan, percetakan, gambar-gambar dan tanda-tanda.

/e) Membatasi. . . . . . .

e) Membatasi/melarang pemakaian telepon, telegram radio dan alat lainnya.
f) Membatasi/melarang memasuki/ memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman/lapangan-lapangan.
g) Memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai.

c. Kewenangan Darurat Militer.
1) Tanggung jawab berada pada Pejabat Militer setempat.
2) Kewenangan.
a) Ketentuan darurat sipil berlaku.
b) Membatasi/larangan senjata api dan bahan peledak.
c) Kuasai perlengkapa-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi.
d) Larangan mengubah lapangan dan benda-benda di lapangan.
e) Menutup gedung-gedung.
f) Atur, batasi/larangan keluar masuk/edarkan barang.
g) Atur, batasi dan larangan lalu lintas darat, udara dan air.
h) Sita surat-surat dan kiriman-kiriman.
i) Memerintahkan orang untuk bekerja guna kepentingan Hankam.
j) Menangkap dan menahan orang.

d. Kewenangan Darurat Perang.
1) Tanggung jawab berada pada Pejabat Militer setempat.
2) Kewenangan.
a) Ketentuan keadaan darurat sipil dan militer berlaku.
b) Mengambil/memakai barang-barang apapun untuk kepentingan Hankam yang dapat jadi milik negara.
c) Memanggil orang untuk bekerja pada APRI dan ketentuan hukum tentara berlaku baginya. [8]

/13. Kewenangan. . . . . . .

13. Kewenangan Satter dalam Keadaan Darurat. Ketentua yang mengatur tentang keadaan darurat saat ini masih berlaku Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Menyikapi perkembangan terakhir dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat tentang kebebasan masyarakat berkaitan dengan pemberlakuan ketentuan Keadaan Bahaya di masa lalu, telah berhasil dibuat undang-undang baru yang mampu mengakomodasi tuntutan keadaan tetapi masih memenuhi kriteria kebutuhan dalam kerangka menjamin tetap tegaknya wibawa pemerintah dan pejabat negara. Undang-undang tersebut yang masih dalam bentuk rancangan adalah RUU PKB. Karena pertimbangan situasi dan kondisi berkaitan dengan adanya penolakan terhadap pemberlakuan RUU PKB tersebut, maka hingga saat ini RUU PKB tersebut belum disyahkan menjadi undang-undang. Dengan demikian ketentuan yang berlaku adalah ketentuan keadaan darurat seperti yang ada dalam Perpu Nomor: 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sampai saat ini, dimana keadaan darurat sipil masih berlaku di Ambon, maka ketentuan yang berlaku disana sesuai dengan Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tersebut. Mengingat Satter sebagai bagian dari unsur militer yang ada di daerah, maka kewenangan yang dimiliki oleh aparat militer di daerah sama dengan kewenangan yang dimiliki Satter yang ada di wilayah tersebut, sesuai dengan jenis keadaan darurat yang ditetapkan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

14. Umum. Program reformasi yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia pada awal tahun 1997, telah memberikan harapan baru dalam upaya pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Harapan tersebut baik dalam bidang demokratisasi yang memberikan landasan kebebasan pada masyarakat, bidang hukum yang memberikan kepastian dan jaminan hukum serta HAM yang memberikan rasa keadilan yang merupakan hak azasi setiap manusia dimanapun mereka berada, hingga saat ini masih belum sepenuhnya dirasakan berhasil dicapai. Hal ini disebabkan dengan adanya pengaruh berbagai faktor di dalam suasana kehidupan bangsa yang masih dalam masa transisi menuju Indonesia Baru. Dengan adanya berbagai kepentingan tersebut, maka telah melahirkan rasa pesimis dari kelompok masyarakat tertentu dan menganggap tujuan reformasi yang pernah diperjuangkan tidak mungkin tercapai.
/Kompensasi. . . . . . .


Kompensasi dari rasa pesismis tersebut tertuang dalam maraknya penolakan terhadap berbagai produk perundangan-undangan yang telah berhasil dibuat oleh DPR. Setiap produk perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat cenderung ditanggapi secara skeptis dan dicurigai sebagai upaya mempertahankan status dan kepentingan. Sejauh mana pengaruh berbagai faktor yang ada terhadap ketentuan keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki oleh Satter, pembahasan berikut ini mencoba mengulas melalui cara penganalisaan yang komfrehensip.

15. Faktor Ekstern.

a. Kendala. Perkembangan situasi Indonesia saat ini tidak terlepas dari isu globalisasi yang pada akhirnya membawa bangsa Indonesia ke era Reformasi. Proses reformasi telah memunculkan tokoh-tokoh intelektual yang berpikiran kritis dan ingin membawa Indonesia dalam suasana Liberal. Indikasi kearah ini sangat jelas kelihatan, berupa keberanian untuk menghujat jajaran suprastruktur yang ada dan bahkan tanpa kecuali infrastruktur sekalipun. Dalam upaya menentukan kewenangan apa yang perlu diberikan kepada Satter diwilayah dalam keadaan darurat akan banyak mengadapi kedala seperti : Pertama, isu demokratisasi telah menjadikan kebebasan sebagai landasan dalam setiap tindakan, keterbukaan menjadi tuntutan, kesetaraan, kebersamaan dan keadilan menjadi tujuan perjuangan. Dengan adanya keadaan darurat yang sarat dengan berbagai pembatasan dan larangan, maka akan mendapat tetangan dari berbagai pihak. Kedua, HAM menjadi senjata pamungkas untuk memperjuangkan kepentingan, tanpa memperhatikan bahwa perjuangan mereka justru telah melanggar HAM orang lain. Pemberlakuan keadaan darurat yang penuh dengan pengurangan hak individu untuk kepentingan umum dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM dan akan mendapat tentangan dari berbagai pihak. Ketiga, tuntutan supremasi hukum berlaku kepada semua orang dan tidak ada orang, apapun statusnya yang kebal hukum, dijadikan landasan bahwa keadaan darurat tidak memberikan jaminan pada aparat Satter dapat bertindak semaunya tanpa proses pengadilan. Apabila proses pengadilan dijadikan landasan tindakan darurat, maka akan sangat lambat dan mungkin tidak akan pernah terwujud kewenangan yang dimiliki aparat.

/Keempat. . . . . . .

Keempat, pengalaman masa lalu yang memberikan kewenangan yang besar kepada aparat untuk melakukan tindakan hukum selama keadaan darurat, telah menimbulkan trauma dalam masyarakat, sehingga kemunculan kembali keadaan darurat dan kewenangan aparat selama masa darurat akan sangat ditentang oleh sebagian masyarakat.

b. Peluang. Keadaan Indonesia saat ini yang terancam disintegrasi, telah mencemaskan masyarakat dunia. Masyarakat internasional sebenarnya sangat menginginkan Indonesia dalam keadaan aman dan stabil, mengingat aset dari negara maju baik berupa saham maupun investasi lainnya cukup banyak di Indonesia. Disamping itu kerjasama regional di Asia Tenggara telah memberikan perkembangan positif mekanisme kerja sama antarnegara di kawasan tersebut. Peluang yang ada untuk keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki aparat adalah sebagai berikut : Pertama, Negara maju tidak mau kehilangan asetnya dan sekaligus pasar mereka yang potensial di Indonesia, bila terjadi kekacauan yang terus menerus di Indonesia. Mereka sangat membutuhkan adanya stabilitas dengan cara apapun, termasuk kemungkinan memberlakukan keadaan darurat guna mempercepat proses pengembalian keamanan. Kedua, Masyarakat sipil Indonesia sangat menyadari bahwa dalam situasi Indonesia saat ini yang serba tidak menentu yang berkepanjangan dan menimbulkan kejenuhan, bahkan terancam disintegrasi, akan menentukan pilihan terbaik pada pemberlakuan keadaan darurat dengan segala resikonya untuk mengakhiri situasi yang tidak menentu tersebut. Ketiga, Keberadaan Satter di tengah masyarakat ternyata masih sangat dibutuhkan terlebih dalam situasi seperti saat ini. Peran, tugas dan kewenangan apapun yang ditampilkan terutama dalam konteks mengakhiri situasi yang serba tidak menentu saat ini, akan mendapat dukungan. Keempat, pengalaman pertikaian antaretnis di Kalteng telah membuktikan bahwa masyarakat ingin agar TNI mengambil alih Kodal keamanan di daerah guna mempercepat berakhirnya pertikaian dan mencegah jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang lebih besar. Terlepas dari keinginan tersebut ada maksud lain yang tersembunyi dibalik itu, berdasarkan pengamatan dilapangan pengambil-alihan kodal oleh TNI ada kemungkinan dapat mencegah meluasnya pertikaian kedaerah lain. Kenyataannya sebaliknya, karena kodal masih ditangan Polri.
/16. Faktor. . . . . . .
16. Faktor Intern.

a. Kelemahan. Pemberlakuan keadaan darurat dengan pemberian kewenangan kepada aparat terutama Satter memiliki kelemahan mendasar. Kelemahan mendasar tersebut baik pada individu, kelompok maupun organisasi bersifat manusiawi dan pada dasarnya dapat diatasi dengan cara-cara manusiawi pula. Adapun kelemahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut : Pertama, Masa lalu TNI yang telah memainkan peran dalam kehidupan politik praktis dengan kedekatannya pada salah satu kekuatan sosial politik telah merusak citra TNI, walaupun dilakukan oleh sebagian kecil personil TNI yang memiliki interes tertentu pada masalah politik. Ada kecenderungan oknum personil TNI masih memiliki obsesi untuk tampilnya TNI seperti masa lalu yang penuh dengan kekuasaan. Kedua, Aplikasi kegiatan Binter oleh Satter selama ini diakui masih banyak terjadi penyimpangan. Walaupun sekedar “joke”, mengubah kata pembinaan menjadi pembinasaan, merupakan indikasi adanya penyimpangan tersebut. Selama mengatasi pengungsian di Sampit pada saat pertikaian antaretnis, yang akhirnya menimbulkan pertikaian antar aparat, telah menunjukan bahwa ada sebagian oknum aparat yang mengutamakan kepentingan pribadi daripada membantu secara kemanusiaan warga yang sangat membutuhkan bantuan. Apabila dalam situasi damai saja kejadian tersebut terjadi dan sempat mengotori pengorbanan dan perjuangan aparat selama bertugas, bagaimana bila situasi darurat benar terjadi ?. Besarnya kewenangan yang dimiliki aparat dalam keadaan darurat dapat berpeluang disalahgunakan oleh oknum aparat yang memiliki kepentingan pribadi dan rendahnya moral yang bersangkutan. Ketiga, Kualitas sumber daya manusia dan kuantitas personil Satter di wilayah, terutama di Kalteng tidak sepenuhnya dapat menunjang program kebijaksanaan pimpinan TNI, khususnya dalam melaksanakan kewenangan dalam keadaan darurat. Hal ini disebabkan selain hal diatas, juga dukungan yang diharapkan terutama dari masyarakat akan sangat kurang, terlebih masyarakat merasa ada hak-haknya yang diambil guna kepentingan militer dan kepentingan umum. Keempat, Piranti lunak yang ada cenderung tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan keadaan, disamping kurang dipahami oleh aparat secara keseluruhan.

/Seperti. . . . . . .


Seperti halnya UU Mobilisasi dan Demobilisasi, hingga saat ini sebagian besar aparat masih belim memahami isinya. Hal ini disebabkan kurangnya upaya sosialisasi terhadap undang-undang tersebut.

b. Kekuatan. Apabila keadaan darurat diberlakukan dan kewenangan tersebut berada pada TNI dengan unsur Satter sebagai ujung tombak dilapangan, maka akan memiliki daya dukung yang baik dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, keberadaan TNI sebagai kelembagaan saat ini sangat solid, baik dalam hal organisatoris, maupun dukungan terhadap program kegiatannya yang dirasa masih sangat menunjang citra TNI, terutama di tingkat nasional dan daerah. Hal ini memberikan keyakinan dalam diri para personil dilapangan untuk setya dan loyal kepada pimpinan dalam pelaksanaan tugas. Kedua, Redefinisi Dwi Fungsi ABRI yang telah dirubah secara terminologi menjadi Peran TNI,[9] sebenarnya telah menimbulkan kekuatan baru dalam diri personil TNI secara keseluruhan. Personil tidak lagi ragu-ragu dalam bertindak, sebab visi dan misi TNI sangat jelas untuk kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keterlibatan dalam politik praktis telah dihentikan, jiwa dan nurani prajurit tidak terbelah dalam kebenaran dan kepentingan golongan, tetapi sebaliknya menyatu dalam kebenaran langkah untuk kepentingan negara. Ketiga, reformasi internal TNI telah mengurangi beban tugas dari Satter dalam bidang yang bukan tanggungjawabnya. Hal ini memberikan peluang pada personil TNI untuk lebih profesional dalam pelaksanaan tugas, sehingga kewenangan yang diberikan seminimal mungkin tidak disimpangkan. Keempat, pemisahan peran TNI dan Polri telah memberi fokus pada satu tugas dan memudahkan dalam pelaksanaan dilapangan. TNI tidak lagi menjadi pemadam kebakaran yang berarti ikut sibuk di semua bidang pada tempat dan waktu yang salah. Kondisi ini menempatkan personil TNI jauh lebih profesional dan percaya diri dalam bertugas. Kelima, kewenangan pusat di bidang pertahanan dan keamanan memberikan kemudahan pada sistim komando yang sangat sentralistis, sehingga menjamin kesatuan dan mencegah terjadinya bias dilapangan. Hal ini berarti memberikan kemudahan dalam Kodal dan lebih menjamin proses pencapaian tujuan akhir.
/ANALISIS. . . . . . . .

ANALISIS KEWENANGAN SATTER
DALAM KEADAAN DARURAT

17. Umum. Mencermati pengalaman masa lalu, batasan yang diatur dalam piranti lunak, masalah yang ada dalam lingkup Satter saat ini, perkembangan situasi nasional kedepan dan berbagai faktor yang berpengaruh lainya, merupakan simpul-simpul pembahasan dalam tulisan berikut ini. Dihadapkan pada tuntutan tugas untuk menjamin tetap tegaknya dan tetap utuhnya NKRI serta upaya melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesa, tulisan ini mencoba mencari formulasi yang tepat untuk keadaan darurat dan kewenangan yang perlu dimiliki Satter sebagai komponen TNI AD dan sebagai ujung tombak kegiatan dilapangan. Dengan tetap berpedoman pada kasus pertikaian antaretnik di Kalteng dan berbagai implikasi dilapangan, diharapkan tulisan ini mampu memberikan kondisi obyektif dalam memenuhi tuntutan pelaksaan tugas dilapangan.

18. Ketentuan Keadaan Darurat. Pengaturan keadaan darurat dalam Perpu Nomor: 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya meliputi Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Kewenangan menyarankan keadaan darurat terletak pada Gubernur selaku kepala daerah dengan dibantu unsur Muspida setempat dan atas pesetujuan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Memperhatikan ketentuan tersebut dihadapkan pada pengalaman selama ini, baik pada penanganan kasus pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya serta faktor yang berpengaruh dan ancaman yang dihadapi bangsa saat ini, dapat diketengahkan beberapa hal sebagai berikut :

a. Ketentuan keadaan darurat. Pembagian keadaan darurat seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang bersifat ekslusif. Dengan pembagian tersebut dapat menimbulkan kerancuan pada masyarakat dan bahkan pada aparat dalam pelaksanaan tugas. Pedoman yang bersifat rinci memang baik bagi unsur pelaksana di lapangan, tetapi bagi masyarakat yang menjadi obyek akan sangat membingungkan, mengingat aturan yang ada sudah mengurangi rasa kebebasan dari individu masyarakat tersebut. Bagi aparat sekalipun, rincinya kewenangan yang dimiliki dapat dijadikan alasan pembenaran terhadap kekeliruan yang mungkin sengaja dilakukan dengan untuk kepentingan pribadi.
/Dilain. . . . . . .

Dilain pihak dengan adanya pembagian keadaan darurat yang disesuaikan dengan situasi yang berkembang kurang memberikan ketegasan dalam penerapan hukum. Tuntutan fleksibelitas suatu aturan hukum bukan pada isi hukum itu sendiri, tetapi pada keadaan dan penerapannya di lapangan. Penerapan suatu keadaan darurat secara bertahap dapat menimbulkan beberapa implikasi seperti : Pertama, bagi pelaku yang berkepentingan dalam menciptakan keadaan bahaya memiliki ruang manuver untuk menyiapkan keadaan yang menguntung pihaknya dan menempatkan aparat dalam posisi sulit. Disamping itu pelaku memiliki pengalaman dan sebagai medan latihan dalam menghadapi situasi yang lebih sulit. Kebebasan, supremasi hukum dan penegakan HAM yang mereka tuntut telah mengurangi kebebasan masyarakat, melanggar HAM orang lain dan malahan melanggar hukum. Di sisi lain peluang yang ada dapat diperbesar mengingat dalam suasana kejenuhan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, maka masyarakat akan berpaling kepada pihak yang dianggap mampu, dipercaya bisa memberi rasa aman dan memiliki legitimasi. Dengan kata lain untuk upaya preventif sistim tersebut kurang memiliki nilai tangkal. Kedua, bagi aparat timbul sikap menduga-duga situasi, sehingga kurang memiliki daya tangap terhadap tugas yang harus dihadapi. Timbul sikap pilih kasih dalam menghadapi tugas yang pada gilirannya dapat menurunkan disiplin pribadi aparat dalam merespon setiap masalah dilapangan. Dengan penjelasan tersebut diatas, maka ketentuan tentang keadaan darurat tidak perlu diklasifikasikan dalam bentuk darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, tetapi cukup keadaan darurat saja. Hanya saja dalam menghadapi situasi yang terjadi dilapangan kewenangan yang diberikan kepada aparat dilapangan berbeda sesuai dengan ancaman yang terjadi. Dengan cara ini kelemahan yang ada dari aparat dapat dieleminir dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada faktor yang berpengaruh tersebut. Dengan sistim ini selain memiliki nilai tangkal yang cukup tinggi juga terdapat standarisasi tindakan aparat dalam merespon keadaan darurat.

b. Kewenangan penentuan keadaan darurat. Dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang KB kewenangan menentukan KB dilakukan oleh Presiden dengan pertimbangan DPR, setelah mendapatkan laporan dan saran dari Gubernur dan disetujui oleh DPRD.

/Mekanisme. . . . . . . .

Mekanisme ini kurang tepat pada situasi saat ini, khususnya pada laporan dan saran gubernur, dengan melihat berbagai kasus yang ada, seperti pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya. Adapun pertimbangan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Pertama, Keadaan darurat terjadi sebagai akibat adanya ancaman bahaya berupa keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.[10] Memperhatikan rumusan tersebut, maka keadaan darurat termasuk bidang pertahanan dan keamanan yang merupakan kewenangan pusat. Dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan dan laporannya pun harus berasal dari aparat pusat yang ada di daerah. Hal ini akan memberikan visi yang sama tentang kepentingan pusat di daerah dan sesuai dengan kewenangannya. Disamping masalah gerakan politisasi yang bersifat lokal, pelanggaran HAM dan hukum di daerah dapat dieleminir. Peluang yang ada dengan mengedepankan aparat TNI, khususnya Satter dapat dieksploitir dengan memanfatkan kejenuhan masyarakat akan situasi kacau yang dialami selama ini dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat terhadap TNI. Bagi aparat sendiri kelemahan yang ada seperti masa lalu TNI yang kurang mendukung dan masalah kualitas pesonil aparat dapat dieleminir dengan kekuatan dari faktor internal yang berpengaruh. Kedua, Memperhatikan kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kalteng yang telah nyata-nyata membawa korban jiwa dan harta benda yang cukup besar, hancurnya strata sosial masyarakat di daerah dan ada indikasi menjurus kearah gerakan separatis, ternyata masyarakat dan pemerintah daerah tidak menghendaki di berlakukannya keadaan darurat. Kriteria terganggunya ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan sudah terbukti. Apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat dapat menjurus kepada pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, indikasi kearah itu sudah ada. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapaa hal antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjadikan situasi di daerah sebagai komoditas politik yang sarat dengan kepentingan. Pemerintah pusat dalam hal ini penguasa dari elit politik memanfaatkan situasi di daerah sebagai manuver politik golongannya.
/Keberhasilan. . . . . . .

Keberhasilan penerapan kebijakan pemerintah pusat dapat dijadikan keberhasilan politik penguasa. Sedangkan bila terjadi kegagalan dapat dilimpahkan sebagai akibat kesalahan tehnis dalam pelaksanaan dilapangan. Sementara itu pemerintah daerah yang juga elit politik lokal, merasa prestige pemerintahannya akan jatuh, bila diberlakukan keadaan darurat, karena menyangkut masalah tanggung jawab kepala pemerintahan di daerah. Disamping itu pimpinan pemerintahan daerah juga memiliki intres tertentu, baik menjaga relasinya dengan para pelaku yang menciptakan keadaan bahaya, maupun memiliki persamaan visi dengan pelaku untuk kepentingan tertentu. Indikasi lain adalah upaya daerah untuk mempertinggi nilai tawar daerah terhadap pusat, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang tersendat atau memang ada keterlibatan sebagaian besar oknum pejabat daerah dibalik semua gerakan yang menimbulkan kerusuhan tersebut. Dari penjelasan tersebut sepantasnya laporan dan saran kepada pemerintah pusat merupakan kewenangan aparat pusat yang ada di daerah dijadikan pertimbangan untuk memutuskan pemberlakuan keadaan darurat, bukan laporan dan saran dari pemerintah daerah yang sarat dengan kepentingan daerah.

c. Penanggung Jawab keadaan darurat. Pengendalian kegiatan dalam keadaan darurat sesuai Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 adalah Gubernur selaku Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Kepolisian Daerah dalam keadaan darurat sipil dan pejabat militer setempat dalam keadaan darurat militer dan darurat perang. Ketentuan ini banyak mengandung kelemahan dan kendala dilapangan sesuai dengan pengalaman selama ini. Dalam Pasal 40 (1) UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI mengatakan “ Presiden menyatakan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian dari padanya sesuai dengan intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan nasional”.[11]


/Selanjutnya. . . . . . .

Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut dikatakan “ Hal-hal yang yang mendasari kewenangan presiden untuk mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan bahaya diantaranya : a. terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap kedaolatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa; b. terjadi hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan timbulnya sengketa bersenjata; c. timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara.[12] Sementara itu dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 9 (1) “Dalam keadaan darurat Kepolisian Negara RI memberikan bantuan kepada TNI, yang diatur dalam undang-undang”[13]. Selenjutnya dalam UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI pasal 13 “ Kepolisian Negara RI bertugas : a. selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum; b. dan seterusnya . . . ” [14] Memperhatikan penjelasan dan kutipan tersebut diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, dalam keadaan darurat terjadi keadaan “anomi” yaitu hukum tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Kedua, dalam keadaan darurat tugas kepolisian adalah membantu TNI untuk mengembalikan wibawa hukum. Dengan penjelasan tersebut maka tanggung jawab pengendalian dalam keadaan darurat merupakan kewenangan pejabat militer setempat.

19. Kewenangan Satter dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat dimana terjadi keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum yang menyebabkan tidak berfungsinya upaya penegakan hukum, sebagai akibat terjadinya kerusuhan dengan tindakan kekerasan dan pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, maka merupakan tugas TNI untuk mengembalikan fungsi-fungsi ketertiban umum untuk selanjutnya ditegakan oleh Polri.
/Dalam. . . . . . .

Dalam rangka mengembalikan ketertiban umum, sehingga hukum dapat berjalan, maka perlu adanya kewenangan dari TNI di tingkat pusat atau Satter di wilayah sebagai landasan bertindak. Sesuai dengan penjelasan tentang keadaan darurat yang tidak dibagi dalam darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, maka kewenangan yang menjadi dimiliki bersifat umum dan standar untuk keadaan darurat. Sedangkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda seperti keadaan darurat karena bencana alam, bencana wabah penyakit, pertikaian massa, pemberontakan bersenjata, tindakan separatisme untuk memisahkan diri dari NKRI dan bencana perang serta bencana lainnya perlu diatur secara khusus.

a. Kewenangan umum. Dalam rangka untuk mendapatkan standarisasi dalam kewenangan dari aparat, maka kewenangan umum yang berlaku dalam keadaan darurat meliputi :
1) Berhak mengadakan peraturan yang membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan.
2) Berhak memasuki, menyelidiki, menggeledah, mensita barang yang digunakan untuk mengganggu keamanan.
3) Mengetahui berita-berita, melarang/memutuskan berita-berita.
4) Membatasi/melarang pemakaian kode-kode, tulisan, percetakan, gambar-gambar dan tanda-tanda.
5) Membatasi/melarang pemakaian telepon, telegram radio dan alat lainnya.
6) Membatasi/melarang memasuki/ memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman/lapangan-lapangan.
7) Memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai.
8) Membatasi/larangan senjata api dan bahan peledak.
9) Menguasai perlengkapa-perlengkapan pos dan alat-alat telekomunikasi.
10) Larangan mengubah lapangan dan benda-benda di lapangan.
11) Menutup gedung-gedung dan menggunakan untuk kepentingan Hankam.

/12) Atur. . . . . . .

12) Atur, batasi/larangan keluar masuk/edarkan barang.
13) Atur, batasi dan larangan lalu lintas darat, udara dan air.
14) Sita surat-surat dan kiriman-kiriman.
15) Memerintahkan orang untuk bekerja guna kepentingan Hankam.
16) Menangkap dan menahan orang.

b. Tindakan khusus.
1) Menghadapi perang.
a) Menyiapkan satuan TNI untuk kepentingan perang..
b) Memanggil orang untuk bekerja pada APRI dan ketentuan hukum tentara berlaku baginya.
c) Melatih satuan cadangan untuk kepentingan perang.

2) Menghadapi bencana alam.
a) Memanfaatkan pasilitas yang ada untuk mencegas meluasnya bencana tersebut.
b) Melaksanakan evakuasi terhadap masyarakat.
c) Melakukan langkah darurat untuk membatasi korban lebih besar.

3) Menghadapi pertikaian massa.
a) Tindakan paksa terhadap masyarakat tertentu dalam menghentikan pertikaian masa.
b) Tindakan keras lainnya mulai dari melumpuhkan sampai dengan tembak ditempat bila diperlukan.

4) Menghadapi pemberontakan, tindakan separatisme dan upaya pemisahan diri dari NKRI.
a) Operasi militer terbatas.
b) Operasi militer penuh apabila ada perintah dari pusat.



/KESIMPULAN. . . . . . . .


KESIMPULAN DAN SARAN

20. Kesimpulan. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa setelah berlakunya ketetapan MPR Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tetang Otonomi Daerah, UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tetanga Kepolisian Negara RI, maka beberapa ketentuan yang berlaku dalam peraturan dan perundang-undangan lainnya tidak relevan lagi dan perlu ada pengaturan kembali. Di samping itu menyikapi kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kateng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya, perlu adanya pengaturan kembali tentang keadaan darurat dan kewenangan yang dimiliki oleh aparat di wilayah agar dapat melaksanakan tugasnya sesuai tuntutan situasi. Adapun ketentuan yang perlu diatur meliputi :

a. Ketentuan keadaan darurat tidak perlu dipisahkan menjadi darurat sipil, darurat militer dan darurat perang cukup keadaan darurat saja. Agar terdapat standarisasi dalam pelaksanaan tugas dan memberikan nilai tangkal yang lebih tinggi.

b. Kewenangan menentukan keadaan darurat tetap pada presiden berdasarkan laporan situasi wilayah dan saran dari aparat TNI di daerah. Hal ini didasari oleh kewenangan bidang Hankam terutama berkaitan dengan hal-hal yang mengancam keselamatan negara dan bangsa merupakan kewenangan pemeintah pusat dan dapat dilimpahkan pada aparat pusat yang berada di wilayah.

c. Tanggung jawab dalam keadaan darurat berada pada pejabat TNI setempat. Selain merupakan kewenangan pusat, bahwa dalam keadaan darurat Polri bersifat membantu TNI.

d. Kewenangan Aparat TNI setempat atau Satter meliputi kewenangan yang bersifat umum dan tindakan khusus sesuai situasi yang dihadapi di lapangan. Dengan demikian ada standarisasi dalam kewenangan dan dapat memberikan azas fleksibelitas dalam pelaksanaannya, bukan dalam bentuk peraturannya.

/21. Saran. . . . . . .

21. Saran. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas dalam rangka menghadapi keadaan darurat di masa mendatang dan perkembangan situasi bangsa saat ini, disarankan hal-hal sebagai berikut :

a. Perlu perumusan kembali tentang pengertian keadaan darurat yang bersifat umum tanpa ada pembagian seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang.

b. Perlu diatur kembali tentang kewenangan laporan dan saran kepada pusat serta penanggung jawab keadaan darurat di wilayah berada pada aparat TNI di wilayah dan bukan pada Gubernur seperti pada darurat sipil.

c. Perlu diatur kembali agar kewenangan dalam keadaan darurat berada pada aparat TNI dengan kewenangan yang bersifat umum serta tindakan yang bersifat khusus sesuai dengan situasi yang dihadapi.


PENUTUP

22. Demikian tulisan ini dibuat untuk dapatnya dijadikan sebagai bahan masukan kepada Komando Atasan dalam menentukan kebijaksanaan dimasa mendatang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keadaan darurat, sehingga dapat dijadikan pedoman bertindak oleh prajurit di lapangan.

Palangka Raya, 6 Juli 2001
[1] Putusan MPR RI, Sidang Tahunan MPR RI tanggal 7 - 18 Agustus 2000.Hal 83.
[2] Ibid, Hal 84.
[3] UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemda Hal - 9.
[4] Ibid Hal - 10
[5] Laporan Danrem 102/PP tetang Penanganan
Konflik antarenis di Kalteng. Hal - 32.
[6] Ibid Lampiran B-1 s/d B-3.
[7] Ibid Hal - 24.
[8] Perpu Nomor : 23 Tahun 1959.
[9] Paradigma Baru Peran TNI
( Sebuah Upaya Sosialisasi ) Hal - 18.
[10] UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 Pasal 40 (1) Hal - 54.
[11] Ibid Hal - 54.
[12] Ibid Hal - 81
[13] Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000
tentang Peran TNI dan Polri Hal- 86
[14] UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Polri Hal - 10.

AKTUALISASI BINTER DR SIAPKAN KETAHANAN WILAYAH

KONSEPSI AKTUALISASI BINTER DALAM RANGKA
MENYIAPKAN KETAHANAN WILAYAH



PENDAHULUAN


1. Umum. Setelah berakhirnya era Perang Dingin, dunia saat ini telah memasuki suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar bangsa yang semakin mendalam serta globalisasi dan saling keterkaitan antar masalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II, mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya. Arus perubahan global tersebut telah menghembuskan isu global yaitu demokratisasi, Hak Azasi Manusia (HAM) dan Lingkungan Hidup. Isu global tersebut berhembus semakin kencang berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya ternologi transportasi dan telekomunikasi. Saat ini tidak ada satupun tempat di dunia yang dapat bersembunyi dari jangkauan kedua hasil kemajuan dunia tersebut.

Berawal dari krisis Moneter yang terjadi di kawasan Asia, Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan yang sangat drastis, setelah mengalami krisis ekonomi akibat tidak mampu mengatasi krisis moneter yang berkepanjangan. Krisis ekonomi telah melahirkan krisis lain seperti krisis politik, krisis hukum dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Akibat dari multi krisis tersebut terjadi gerakan reformasi yang mengakhiri Pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dasa warsa.
/Gerakan. . . . . . . .
Gerakan reformasi di Indonesia telah menyambut arus perubahan global yang melanda dunia dengan mengagendakan tiga isu reformasi yaitu demokrasi, Hukum dan HAM yang harus ditegakan di Indonesia. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah membawa implikasi terhadap TNI, khususnya TNI AD yang dituduh sebagai dalang dibalik semua kebijakan pemerintahan Orde Baru saat itu.. Akibat dari semua itu, masyarakat mengujat TNI, menuntut pengakhiran fungsi Sosial Politik TNI, Pembubaran Koter, TNI tidak boleh berbisnis, mengadili para perwira yang terlibat pelanggaran HAM dan TNI kembali ke Barak. TNI AD selaku pemeran utama pelaksana Binter saat ini menghadapi dilema yang sulit untuk disikapi, setealah peran TNI dalam Sosial Politik diakhiri. Mengikuti semua tuntutan tersebut, berati TNI harus merubah secara drastis semua perangkat yang selama ini telah tertata dengan baik dan ini mengkin sulit dilakukan dalam waktu dekat. Tidak mengikuti tuntutan tersebut, maka TNI AD akan berhadapan dengan masyarakat yang selama ini selalu didekati TNI dalam mengdukung program kegiatannya. Dihadapkan pada situasi ini dan dalam rangka mencari formulasi baru pelaksanaan Binter dalam rangka menyiapkan ketahanan wilayah, tulisan ini mencoba mencari sulusi yang mungkin relevan dengan kondisi dimasa depan dengan masih tetap berorientasi pada motto “ terbaik bagi rakyat adalah terbaik bagi TNI “.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang konsepsi aktualisasi Binter dalam rangka menyiapkan Ketahanan Wilayah..

b. Tujuan. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam merumuskan aktualisasi Binter dalam rangka menyiapkan ketahanan wilayah dimasa mendatang.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi konsepsi aktualisasi Binter dalam rangka menyiapkan ketahanan wilayah dihadapkan dengan perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut sebagai berikut :
a. Pendahuluan.
b. Landasan dan Latar Belakang Pemikiran.
c. Kondisi Binter Saat Ini.
d. Faktor yang Mempengaruhi.
/e. Analisis. . . . . . .
e. Analisis masalah Binter dan Aktualisasi Binter dalam rangka menyiapkan ketahanan wilayah.
f. Kesimpulan dan Saran.
g. Penutup.

4. Metoda dan Pendekatan. Tulisan ini menggunakan metode diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan langsung dilapangan.


LANDASAN DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

5. Umum. Beberapa tahun terakhir ini integritas dan keberadaan Koter didaerah cukup baik dan kondusif serta dubutuhkan oleh masyarakat. Koter dapat memerankan fungsinya di tengah masyarakat yang memang membutuhkan lembaga yang dapat memberikan pengayoman, sebab lembaga atau institusi lainnya cenderung dirasakan oleh masyarakat belum memberikan pengayoman yang memadai. Seiring dengan perubahan zaman khususnya di era reformasi saat ini, keberadaan Koter mulai dipertanyakan dan bahkan ada tuntutan sebagian komponen bangsa ini, agar Koter dibubarkan. Keterlibatan TNI dalam masalah politik di masa lalu menjadi penyebab tuntutan tersebut, disamping adanya penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku Koter di tengah masyarakat yang tidak lagi berpijak pada kepentingan masyarakat. Di sisi lain, beberapa lembaga diluar TNI telah direformasi, seperti Departemen Penerangan, Departemen Sosial dan Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga serta beberapa departemen dan insatansi lainnya, sebagai langkah pemerintah menyikapi tuntutan reformasi. Mencermati kondisi tersebut maka dalam pembahasan ini akan menjelaskan apa yang menjadi landasan dan latar belakang pemikiran tentang upaya Koter di daerah dihadapkan pada perkembangan situasi saat ini.

6. Landasan Hukum. Keberadaan Koter saat ini belum memiliki landasan hukum yang kuat, sebagai landasan operasional kegiatan Binter (de yure). Keberadaannya hanya berlandaskan pada kelembagaan TNI sebagai pemegang peran dan fungsi pembinaan teritorial.


/Konsekuensi. . . . . . . . .
Konskuensi logis dari Ketetapan MPR nomor: TAP/VII/MPR Tahun 2000 tenatang Fungsi dan Peran TNI dan Polri dan sistim pertahanan yang dianut secara nasional dapat dijadikan landasan hukum kegiatan Koter, tetapi harus didukung oleh perundang-undangan yang jelas. Hal ini memberikan fakta bahwa keberadaan Koter nyata dan dibutuhkan adanya ( de facto ). Tetapi apabila dikaji secara substansial dihadapkan pada tuntutan sistem pertahanan yang dianut, maka keberadaan Koter merupakan hal yang logis dengan pertimbangan geografi, demografi dan kondisi sosial yang ada. Dengan pertimbangan tersebut maka UUD 1945 pasal 30, UU no 20/Tahun 1982 serta perundang-undangan lainnya secara hukum dapat dijadikan acuan keberadaan Koter, namun demikian perlu adanya landasan hukum mengikat yang lebih kuat dalam operasionalnya.

7. Landasan Operasional. Dalam pelaksanaan kegiatan Koter untuk menyiapkan seluruh potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang berlandaskan pada Doktrin Sishankamrata. Sebagai pembina teritorial, Koter akan mengelola unsur geografi, demografi dan kondisi sosial masyarakat sebagai akibat dari permasalahan yang timbul pada kedua unsur sebelumnya. Penyiapan potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang sebagai persyarataan wilayah pertahanan harus dipersiapkan, sehingga memiliki ketahanan menghadapi segala bentuk ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Dengan adanya landasan operasional tersebut telah menempatkan Koter pada posisi yang dibutuhkan pada sistim pertahanan negara sebagai instrumen yang berfungsi menyiapkan komponen pertahanan sesuai doktrin yang dianut.

8. Tuntutan agar Koter Dibubarkan. Beberapa pakar politik, hukum dan sosial serta militer dan bahkan beberapa pejabat birokrasi telah menyampaikan berbagai sumbang pemikiran tentang keberadaan Koter. Pada dasarnya para pemikir, baik dari inteltual sipil maupun militer, telah menyuarakan adanya tuntutan pembubaran terhadap Koter, karena disinyalir akan mampu mempengaruhi netralitas TNI dalam bidang politik untuk jangka panjang. Demikian gencarnya tuntutan tersebut disuarakan melalui berbagai media seperti seminar, diskusi dan pemberitaan di media masa, bahkan telah dirancang dalam suatu sistim periodeisasi yang meliputi periode jangka pendek, menengah dan panjang yang sangat sistemiatis. Pada jangka pendek rencana pembubaran Koter di Aceh, Pembubaran Babinsa, Koramil dalam jangka menengah dan Pembubaran Kodim, Korem dan Kodam dalam jangka panjang ( Kompas, tanggal 25 Nopember 1999). Tuntutan ini, seperti halnya peran sospol akan berimplikasi besar terhadap integritas TNI dan bahkan dapat mempengaruhi stabilitas nasional.
/Mengacu. . . . . . . . .
Mengacu pada norma universal yang berlaku terutama di negara-negara maju, maka tuntutan tersebut perlu ditanggapi serius, sebab tuntutan tersebut merupakan agenda global selaras dengan perubahan global yang sedang terjadi. Dilingkup Nasional, nampaknya tuntutan tersebut akan semakin gencar, seiring dengan proses demokratisasi yang memang sedang derasnya bergulir di Indonesia.

9. Undang-undang Otonomi Daerah. Penerapan Undang-Undang No.22/Tahun 1999 tentang Otonom Daerah telah dpercepat yaitu mulai tanggal 1 Januari 2001. Setelah penerapan undang-undang tersebut, maka menempatkan Pemda sebagai penguasa tunggal dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola semua potensi wilayah yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat untuk kepentingan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dimasa lalu sebagian kewenangaan yang ada tersebut, terbagi habis olehPemda, TNI dan Polri serta unsur lainnya. Mengingat ada pengalihan wewenang yang besar kepada Pemda oleh Pemerintah Pusat, maka perlu adanya ketentuan baru yang mengatur, sehingga ada ketegasan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan di daerah, khususnya dalam pelaksanaan Binter di daerah.

10. Perubahan Paradigma Pembangunan. Pemerintah pusat dalam Kabinet Pemerintahan Presiden K.H. Abdulrakhman Wahid saat ini, telah menetapkan paradigma baru pembangunan masyarakat, yaitu pembangunan masyarakat tidak lagi sepenuhnya diatur pemerintah atau birokrasi, tetapi diserahkan pada masyarakat itu sendiri. Implikasi dari paradigma baru tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk melikuidasi beberapa departemen dan instansi pemerintahan, diantaranya adalah Departemen Penerangan, Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga, Departemen Sosial, Badan Pertanahan dan beberapa departemen serta instansi lainnya. Dengan paradigma baru tersebut, maka secara kelembagaan tidak ada lagi campur tangan birokrasi dalam pemberdayaan masayarakat. Diharapkan masyarakat dengan LSM yang ada di daerah akan melakukan pembinaan dan pemberdayaan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sendiri. Kenyataan yang ada pada dasarnya di negara maju fungsi tersebut pada umumnya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Dikaitkan dengan Binter, maka Binter yang pada dasarnya pemberdayaan masyarakat dengan segala aspek yang ada disekitarnya menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri. Keterlibatan pemerintah atau birokrasi terbatas sebagai motivator dan komunikator pembangunan.
/KONDISI. . . . . . . .

KONDISI BINTER SAAT INI

11. Umum. Pelaksanaan Binter saat ini berpedoman pada peraturan perundang-undangan, ketentuan hukum, budaya dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat serta ketentuan lain yang ada di lingkungan TNI. Rumusan Binter yang membina potensi Geografi, Demografi dan Kondisi Sosial setempat menjadi kekuatan, ruang dan alat juang untuk pertahanan, pada dasarnya merupakan pemberdayaan masyarakat dan lingkungannya itu sendiri. Namun demikian dalam pelaksanaannya masalah personil dan piranti lunak sebagai pelaksana dan perangkat pengendali sangat menentukan pelaksanaan Binter di lapangan. Untuk lebih memahami tentang kondisi obyektif Binter dihadapkan pada kenyataan Ketahanan Wilayah saat ini akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

12. Pembinaan Geografi. Pembinaan geografi dilaksanakan dengan konsep Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) suatu wilayah. Dengan ditetapkannya RUTR suatu wilayah maka ada pembatasan dalam pemanfaatan wilayah sesuai dengan peruntukan yang diatur dalam RUTR itu. Secara kelembagaan penentuan RUTR telah terkoordinasikan dengan baik, melalui rapat koordinasi secara berjenjang dari tingkat Desa samapi dengan Propinsi. Permasalahan yang terjadi adalah peruntukan yang tidak bernilai ekonomis biasanya selalu dikalahkan oleh peruntukan yang bernilai ekonomis. Terlebih dalam masa Orde Baru, walaupun sangat membahayakan keselamatan dan kepentingan masyarakat beserta lingkungannya, peruntukan untuk kepentingan ekonomi selalu diutamakan, sekalipun melanggar aturan yang ada dalam RUTR itu sendiri. Keterlibatan Koter dalam menentukan RUTR sepertinya ikut mencampuri urusan instansi lain. Disamping itu belum pernah ada masukan yang berarti dari Koter tentang gejala adanya ancaman terhadap ketidak seimbangan yang terjadi di suatu wilayah, sehingga menimbulkan bencana alam seperti kebanjiran, tanah longsor dan kebakaran yang pada akhirnya menimbulkan korban cukup besar baik nyawa maupun harta masyarakat. Kegiatan dalam pembinaan Goegrafi terbatas pada minitoring laporan dari instansi lain yang memang lebih berkompeten dalam bidang tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peran Binter dalam pembinaan Geografi tidak efisien dan kurang proporsional.

/14. Pembinaan. . . . . . . .
13. Pembinaan Demografi. Secara kelembagan pembinaan masyarakat selama ini dilaksanakan oleh unsur-unsur pemerintahan. Pendataan jumlah penduduk, strata sosial dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masyarakat semuanya telah dilakukan oleh instansi yang berkompeten di bidangnya. Pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain sepenuhnya dilakukan oleh instansi lain. Keterlibatan Koter selaku aparat Binter selama ini hanya terbatas pada pendataan dan membantu ikut serta dalam memberi pelayanan pada masyarakat. TNI manunggal, TMD dan berbagai macam program TNI untuk memberdayakan masyarakat sebenarnya telah tidak mendidik masyarakat itu sendiri. Sebab yang diberikan kepada masyarakat adalah “ ikan bukan pancingnya”. Hal yang dapat dicatat sebagai prestasi adalah dalam memberdayakan masyarakat melalui upaya meningkatkan kesadaran dalam bela negara.

14. Pembinaan Kondisi Sosial. Sasaran Binter pada Kondisi Sosial yang meliputi idiologi, Politik, ekonomi, sosisl budaya dan Hanmak (IPOLEKSOSBUDHAMKAM) pada masa lalu sangat menonjok pada bidang idiologi dan politik saja. Keterlibatan Koter dalam pelaksanaan Binter terwakili dengan fungsi Sospol TNI dimasa lalu. Pengelolaan pelaksanaan Binter dilaksanakan oleh fungsi pemerintahan yang dipimpin oleh personil TNI. Setelah terjadi gerakan reformasi yang telah menumbangkan perintahan Orde Baru, Koter terbukti gagal total dalam upaya pembinaan tersebut. Krisi ekonomi yang terjadi di Indonesia, kerusuhan dibeberapa daerah, gagalnya menyelesaikan masalah Tim-tim dan kasus Aceh telah menandai tidak berfungsinya Binter secara efektif.

15. Pembinaan Aparat Teritorial. Secara kualitas dan kuantitas kondisi aparat Teritorial masih belum memadai. Beberapa wilayah yang padat seperti pulau Jawa kondisi aparat teritorial mungkinrelatif mendekati keseimbangan antara pembina dengan yang dibina. Di wilayah lain seperti Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat sebagai wilayah darat terluas di Indonesia, memiliki rasio aparat teritorial sangat tidak berimbang. Kenyataan yang ada di wilayah yang memiliki aparat teritorial baik secara kualitas maupun kuantitas kurang memadai dan wilayah binaannya jauh lebih luas, justru kondisinya lebih kondusif, aman dan stabil. Sementara wilayah kota besar dan daerah lain seperti Aceh, Maluku terus bergolak. Hal ini menandakan bahwa Koter walaupun didukung oleh sarana dan prasarana serta personil memadai ternyata tidak efektif dalam melaksanakan tugas.
/17. Piranti. . . . . . .
16. Piranti Lunak. Buku petunjuk tentang teritorial ada disetiap cukup memadai dan terkesan sangat konsepsional. Permasalahannya adalah terletak pada sasaran Binter yang terlalu luas dan tidak realistis. Aspek geografi, demografi dan kondisi sosial yang ada dipelajari dari ekses yang ditimbulkan, bukan bagaimana mengelola ketiga aspek tersebut. Bila dilihat secara substansial, maka Aparat Teritorial memang belum memiliki kemampuan memadai dalam mengelola semua aspek tersebut. Di samping itu terkesan hanya diberikan tanggungjawab, tetapi tidak ada kewenangan dalam pengelolaannya.

17. Ketahanan Wilayah. Keberhasilan pembinaan ketahanan wilayah yang terakmodasi dalam ketahanan nasional di masa lalu, merupakan kebijakaan pemerintah yang menekankan sasaran pembangunan pada stabilitas dan kesejahteraan. Kenyataan yang ada pada akhirnya kondisi stabilitas bersifat semu, sebab telah terjadi pergeseran mekanisme pembinaan. Terjadi bermacam manipulasi dan rekayasa di masyarakat sehingga masyarakat mulai berpaling dan berpihak pada LSM dan LBH yang saat itu membantu keluhannya. Seiring dengan perubahan kiblat masyarakat tersebut maka mulailah terjadi gerakan-gerakan yang mendukung perlindungan pada masyarakat yang tertindas yang diseponsori oleh LSM dan LBH serta organisasi partisan lainnya. Kondisi ini mengawali terjadinya ketidakstabilan di Indonesia yang menandai ketahanan wilayah menjadi lemah dan pembinaannya tidak efektif.

18. Dari urain tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Binter selama ini telaha gagal menyiapkan wilayah sehingga memiliki ketahanan terhadap berbagai ancaman baik yang datang dari luar maupun dalam negeri. Hal ini disebabkan karena sasaran Binter terlalu luas sementara peneyelenggaranya adalah Koter terdiri dari personil prajurit yang tidak memiliki kemampuan memadai dan tidak disiapkan secara maksimal sebagai pengelola teritorial sesuai tanggung jawabnya. Benar kiranya “joke” yang mengatakan, bahwa ilmu teritorial sama dengan ilmu mengecat langit, yang berarti mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana. Keberhasilan Binter dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa ini termasuk masyarakat yang menjadi subyek sekaligus obyeknya. Pelibatan Koter dalam pelaksanaan Binter dibatasi pada sasaran yang jelas dan kewenangan yang jelas pula. Dengan demikian Koter akan mendapat pengakuan dan dibutuhkan olehmasyarakat.

/FAKTOR. . . . . . .

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

19. Umum. Era globalisasi telah memunculkan isu demokratisasi, lingkungan hidup dan HAM, yang telah mendorong terjadinya perubahan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Era Reformasi di Indonsia telah banyak merubah tatanan lama yang dibentuk semasa Orde Baru. Perubahan tersebut baik yang disebabkan oleh faktor intern dan ekstern sangat berpengaruh terhadap aktualisasi Binter yang akan dilakukan di wilayah di masa depan. Sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh akan dibahas dalam tulisan berikut ini.

20. Faktor Ekstern.

a. Kendala. Era reformasi telah melahirkan tuntutan baru oleh sebagian kompenen masyarakat Indonesia untuk membubarkan Koter. Paradigma pembangunan telah berubah yang semula sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah, menjadi dilakukan oleh masyarakat yang yang bertindak sebagai subyek dan sekaligus obyeknya. TNI tidak populer dimasyarakat, yang mengakibatkan masyarakat tidak mau dibina, sebab konotasi pembina mambawahi yang dibina. Masyarakat menuntut adanya kebersamaan dan kesetaraan dalam segala aspek kehidupan.

b. Peluang. Birokrasi secara umum gagal dalam membina dan menjalankan fungsinya. Pemerintahan Sipil tidak solid dan terkesan tidak berpihak pada masyarakat serta lebih condong berpihak pada pengusaha. Akibatnya masyarakat membutuhkan pengayoman. TNI selaku pemeran Koter memiliki kondisi yang lebih stabil dan kompak serta konsisten dalam membela masyarakat. Kondisi ini menjadi peluang dalam menarik hati masyarakat.

21. Faktor Intern.

a. Kelemahan. Beberapa faktor yang menjadi masalah dalam melakukan Binter adalah keterlibatan TNI dalam masalah politik praktis di masa lalu, TNI pada masanya lebih sering berpihak pada pengusaha dan meninggalkan masyarakat. Kondisi aparat yang kurang memadai baik kualitas maupun kuantitas, keterbatasan dukungan dana, fasilitas dan kesejahteraan keluarga prajurit, semua itu mendorong prajurit semakin tidak profesional dalam pelaksanaan tugas..
/b. Kekuatan. . . . . . .
b. Kekuatan. TNI memiliki nilai kejuangan yang tinggi, organisasi yang tertata dengan baik, kompak dan solid, Program sosial TNI banyak yang bersifat “sivic mission” yang dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Secara umum Masyarakat masih menghormati TNI secara kelembagaan, karena juga dibutuhkan. Hal ini menandakan bahwa TNI masih dicintai masyarakatnya dan mudah diterima walaupun pernah menyakitkan hati masyarakat, karena masyarakat masih mempercayai TNI sebagai benteng terakhir persatuan dan kesatuan bangsa.


ANALISIS MASALAH BINTER DAN KONSEPSI BINTER
DALAM RANGKA MENYIAPKAN KETAHANAN WILAYAH

22. Umum. Mencermati masalah yang ada dalam Binter di daerah saat ini dihadapkan pada perkembangan situasi dengan berbagai faktor yang mempengaruhi, merupakan formulasi yang sangat penting untuk menemukan akar permasalahan Binter sebenarnya. Sejauhmana kemampuan mencermati dan memilah duduk permasalahannya, sangat tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengaplikasikan teori Binter dihadapakan pada tuntutan perkembangan masyarakat di daerah yang tentunya juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat nasional dan global. Pesatnya perkembangaan Ilmu Pengetahuan dan teknologi melalui sarana transportasi dan komunikasi yang semakin maju, menjadikan upaya-upaya untuk menutupi kejadian yang ada, membatasi kebebasan masyarakat dan memberikan masyarakat sesuatu yang bersifat indoktrinasi sudah tidak saatnya lagi. Dengan mencermati masalah Binter dilihat dari kondisi obyektif Binter saat ini dan berbagai faktor yang mempengaruhi, proses penganalisaan ini mencoba mencari solusi Binter yang sahih dimasa depan.

23. Masalah Geografi. Luas wilayah tanggung jawab Binter masing-masing Koter berbeda-beda, baik dalam tingkat Kodam maupun unsur bawahannya. Selain luas wilayah, isi geografi memiliki berbagai macam permasalahan yang ada didalamnya, seperti kondisi medan yang ditutupi oleh hutan lebat dan keterbatasan jaring-jaring jalan sebagai prasarana transportasi darat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan dalam pelaksanaan Binter dengan adanya keterbatasan personil dan sarana serta prasarana transportasi yang tersedia.
/Letak. . . . . . . .
Letak desa dan perkampungan masyarakat yang tersebar dan kebiasaan melaksanakan pola budaya ladang berpindah sangat menyulitkan dalam program pembinaan. Dilain pihak ada Koter yang memiliki wilayah binaan relatif terbatas, sementara sebagian sarana dan prasarananya hampir terpenuhi. Dengan demikian, maka sangat tidak adil apabila menilai keberhasilan pelaksanaan Binter dilihat dari keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Memberi penilaian secara rata-ratapun kurang tepat, mengingat pelaksaan Binter harus terpadu dan menyeluruh. Pelaksanaan Binter di daerah yang relatif mapan, tidak membutuhkan personil terlalu banyak dan bahkan mungkin Binter tidak dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah tersebut. Beda dengan pelaksanaan Binter di wilayah yang luas, memiliki medan yang terpotong oleh sungai-sungai lebar sekaligus merupakan prasarana trasportasi sungai, tetapi tidak didukung oleh sarana yang memadai. Pada situasi ini, Binter sangat tidak efektif karena berbagai keterbatasan yang dimiliki aparat Koter. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki TNI selaku pelaksana Binter, maka sulit kiranya untuk mewujudkan keberhasilan dalam mebina potensi geografi menjadi ruang, alat dan kondisi juang yang sesuai dengan harapan. Sesuai dengan akan diterapkannya otonomi daerah, maka sudah selayaknya pembinaan geografi diserahkan sepenuhnya pada Pemda. Perencanaan pembinaan Geografi sudah terlaksana dengan baik, karena RUTR wilayah sudah terwujud dengan baik, walaupun pelaksanaannya masih kurang memuaskan. Patut diakui bahwa Koter dalam hal ini hanya mampu mendata permasalahan geografi secara terbatas, dengan memanfaatkan data yang telah disiapkan oleh berbagai instansi yang berkompeten.

24. Masalah Demografi. Permasalahan pembinaan demografi yang menonjol adalah pada peningkatan sumber daya manusia (SDM)-nya. Kualitas SDM ditentukan oleh pengembangan manusia melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikannya. Masyarakat dengan segala aktifitasnya sebagai unsur utama dalam demografi bersifat dinamis dan memiliki karakter yang berbeda antara wilayah satu dengan lainnya. Karena memiliki karakter yang berbeda dan sifatnya yang dinamis maka pembinaannya pun sulit dan membutuhkan perangkat yang memadai dan personil yang handal serta terdidik untuk itu. Kenyataan yang ada dilapangan masyarakat kita sangat rentan dengan berbagai isu yang beredar saat ini. Tuntutan masyarakat sebenarnya sangat sederhana yaitu bagaimana mereka hidup sejahtera dan memiliki kepastian dan harapan. Kalau ketiga kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka masyarakat tidak akan mempercayai para pembinanya. Kenyataan selama ini masyarakat sepertinya diperdaya oleh aparat dengan aturan yang tidak pernah memihak kepada kepentingan masyarakat.
/Koter. . . . . . .
Koter selaku pembina komponen geografi di masa lalu dapat memberikan harapan dan kepastian, karena masyarakat merasa terlindungi kepentingannya. Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat, perubahan prilaku dari aparat Koter selama ini dan kemajuan zaman serta perubahan paradigma pembangunan, maka rumusan pembinaan terhadap masyarakat mungkin sudah kurang tepat. Masyarakat membutuhkan kepastian dan harapan untuk membangun dirinya. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan oleh penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih ( good governance ).

25. Masalah Kondisi Sosial. Kondisi Sosial yang meliputi aspek Idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam (IPOLEKSOSBUDHANKAM) bersifat sangat komplek. Dalam bidang pemerintahan tugas pembinaan tersebut terbagi habis oleh instansi terkait. Pembinaan yang dilakukan oleh Koter melalui jalur fungsi Sospol telah menempatkan personil TNI pada posisi jabatan sipil di pemerintahan. Penataran P-4, Lima paket undang-undang politik dan banyak lagi kebijakan yang telah dihasilkan mampu menciptakan kondisi sosial yang kondusif saat itu. Masyarkat terus berkembang dan masalah yang dihadapi masyarakat sangat komplek dan terus bertambah komplek. Kompleksitas masyarakat tersebut dalam konsep Binter terakumulasikan dalam satu istilah IPOLEKSOSBUHANKAM. Apakah cukup Ilpengtek yang saat ini menjadi primadona pembangunan hanya terwadahi dalam sosial budaya. Barangkali harus ada rumusan baru untuk membina masyarakat khususnya yang menyangkut masalah kondisi sosialnya sehingga semua aspek mendapatkan forsi yang selayaknya. Masyarakat yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman, sementara birokrasi seperti halnya Koter sangat lamban dalam mengantisipasi perubahan tersebut. Perkembangan masyarakat yang pesat tersebut akhirnya melahirkan reformasi yang akhirya menelanjangi aparat birokrasi yang lamban, termasuk TNI dengan kehilangan fungsi Sospolnya. Setelah reformasi terbukti Koter gagal total upaya pembinaan tersebut.

26. Masalah Personil Aparat Teritorial. Secara umum kondisi personil aparat teritorial saat ini kondisinya kurang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa daerah memiliki personil yang relatif memadai seperti kota-kota besar dan wilayah yang penduduknya relatif padat. Sementara di daerah lain yang wilayahnya sangat luas, walaupun penduduknya jarang ternyata kondisi personil aparat teritorial khususnya dari segi kuantitas sangat terbatas.

/Keterbatasan. . . . . . .
Keterbatasan ini bukan struktur, tetapi dari struktur yang ada memang sudah sedikit, secara nyata rata-rata terpenuhi sekitar 40 % s/d 65 % saja dari struktur yang ada. Kondisi sangat memprihatinkan, sebab secara logika keberadaan aparat teritorial adalah di wilayah yang terpencil dimana masyarakatnya belum tersentuh kemajuan. Sangat kontradiktif sekali, ternyata konsentrasi aparat teritorial saat ini sebagian besar berada di wilayah yang penduduknya sudah relatif jauh lebih maju dari daerah lainnya.

Kiranya tepat kalau joke yang beredar dilingkungan personil TNI menjelang selesai pendidikan : “ siap ditempatkan di seluruh Indonesia, asalkan masih bisa melihat Monas”. Dilain pihak sudah menjadi rahasia umum setiap personil akan berusaha dalam penugasannya masuh ke satuan Koter ketimbang Lemdik atau staf di Mabes atau Mako. Sehingga Koter dianggap sebagai tempat tugas yang basah, menurut istilah umum untuk menyebutkan ada kemudahan yang dapat diperoleh dari kondisi penugasannya. Apabila dicermati secara teliti, sebenarnya penempatan personil di satuan Koter tidak ada bedanya dengan di satuan lainnya. Hal yang menjadi penarik rebutan oleh personil untuk masuk satuan Koter adalah banyaknya kesempatan untuk melakukan tindakan yang sebenarnya sangat tabu sebagai seorang prajurit. Seperti misalnya menjadi “ backing” di suatu perusahan, tempat hiburan dan lain sebagainya. Menjadi “ debt collector “ dari pengusaha, melakukan tindakan pemerasan lainnya terhadap sebagian masyarakat yang bermasalah. Kehidupan prajurit dan masyarakat umumnya memang berat dan unsur pimpinan pun sudah tahu akan hal ini, tetapi sepertinya ada permakluman oleh pimpinan selama ini terhadap kondisi prajurit tersebut. Sementara itu akan sangat mudah bagi seorang pimpinan untuk menghukum dan bahkan tuntuk memecat seorang prajurit yang ternyata salah dalam menyikapi pergaulan yang memang juga untuk memberikan kemudahan pada beberapa pejabat. Ini adalah kenyataan yang perlu disikapi oleh pimpinan TNI AD. Sementara itu Lemdikter yang ada memang sudah memberikan pembekalan yang maksimal sesuai kemampuan Lemdikter sendiri. Personil yang terpilih sudah disiapkan dengan baik melalui seleksi di satuan masing-masing. Tetapi apa yang didapat dilembaga pendidikan adalah kemampuan yang hanya untuk mendata pemasalahan yang ada di masyarakat, pengetahuan teritorial lainnya yang relevan, tetapi tidak ada kewenangan yang dimiliki oleh Koter dalam mengelola masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Koter semakin tidak dibutuhkan masyarakat.


/28. Masalah. . . . . .
27. Masalah Piranti Lunak. Dilingkungan TNI sampai saat ini ada kecenderungan merasa tabu dan menganggap sakral doktrin yang kita miliki. Perwira TNI AD yang telah menempuh jenjang pendidikan tertinggi diangkatannya telah dibekali dengan berbagai berbagai disiplin ilmu. Para perwira cenderung tidak dapat mengaplikasikan disiplin ilmu yang didapat pada masalah-masalah tertentu atau dengan alasan tertentu ada unsur kesengajaan untuk mempertahankan demi kepentingan tertentu, tanpa mampu melihat perkembangan keadaan di masa depan. Saat ini masyarakat sudah berani mempermasalahkan peran teritorial TNI dengan mengatakan bahwa peran teritorial merupakan peran pemerintahan sipil dan apabila Indonesia benar-benar ingin menjadi negara demokrasi, maka peran tersebut dengan sukarela harus diserahkan oleh TNI. Tuntutan sebagaian masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat intelektual tidak dapat dianggap sepele. TNI di masa depan tidak lagi dapat bersandar pada komposisi “silent majority” masyarakat kita saat ini. TNI seharus mampu merubah komposisi “silent majority” masyarakat saat ini menjadi sebaliknya dan mendukung TNI, kalau TNI benar-benar memiliki komitmen sebagai katalisator pembangunan. Kembali pada masalah doktrin, khususnya dibidang teritorial dihadapkan pada tuntutan masyarakat saat ini dan antisipasi perkembangan di masa depan, kiranya perlu dilakukan peninjauan kembali doktrin TNI dalam pelaksanaan Binter khususnya pada nilai-nilai ekstrinsiknya atau pada nilai-nilai aplikatifnya.

28. Masalah Ketahanan Wilayah. Pada masa pemerintahan Orde Baru suasana aman dan terkendali menjadi kenyataan, dengan mekanisme dan semangat kerja masing-masing instansi yang ada untuk mendukung pencapaian tersebut. Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat dan perubahan situasi global, maka masyarakat telah melakukan perubahan-perubahan sendiri diluar koridor yang telah diciptakan oleh aparat. Hal ini menandai bahwa masyarakat ingin ikut dalam mengurus kebutuhannya sendiri dan dengan caranya sendiri. Aparat dan instansi hanya sebagai pelayan untuk mendukung kebutuhan tersebut. Karena kondisi yang berkembang di masyarakat selanjutnya dan kebijakan pemerintah pada saat itu yang bertumpu pada kepentingan stabilitas, maka terjadilah berbagai kasus yang penuh dengan rekayasa untuk memberikan pembenaran terhadap tindakan yang telah dilakukan. Praktek manipulasi data, penggantian istilah dengan bahasa pemanis dan tindakan yang membohongi masyarakat terjadi terus menerus tanpa ada yang berani melawan. Banyak muncul pahlawan kesiangan, tetapi tersingkir dengan cepat dan bahkan harus kehilangan nyawa hanya untuk memperjuangkan kebenaran diatas stabilitas palsu yang sengaja diciptakan pemerintah.
/Gelombang. . . . . . . .
Gelombang keberanian masyarakat bersaut dengan derasnya arus globalisasi dan reformasi yang sedang marak di Indonesia. Masyarakat mulai berani melawan setiap kebijakan pemerintah untuk memperjuangkan hak-haknya yang telah diambil oleh penguasa. Gelombang perlawanan terus berlangsung yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Indonesia saat ini tengah memulai suaatu tradisi baru tentang ketahanan. Jadi apa sebenarnya ketahanan tersebut ?. Dalam situasi Indonesia yang serba bergolak saat ini, apakah wilayah tidak memiliki ketahanan?. Sesuai dengan pengertian ketahanan sendiri yang berarti kondisi dinamis bangsa yang mampu menghadapi segala bentuk AGHT yang datang baik dari luar aupun dalam negeri dalam rangka terselenggaranya kesinambungan pembangunan nasional menuju tercapainya tujuan nasional. Ada satu visi yang sama yaitu untuk mencapai tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Kalau demikian maka stabilitas itu bukan tujuan, melainkan wahana untuk mendukung tercapainya kesejahteraan itu. Stabilitas yang kondusif dalam masyarakat maju sebenarnya tidak perlu diciptakan tetapi akan tercipta dengan sendirinya apabila kesejahteraan masyarakt tercapai. Hal ini tidak terbantahkan, sebab hampir semua negara maju telah menyelesaikan tahapan sejarahnya seperti yang pernah dilalui oleh bangsa Indonesia saat ini. Dapat disimpulkan bahwa ketahanan wilayah akan tercipta dengaan sendirinya apabila masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

29. Aktualisasi Binter dalam Rangka Menyiapkan Ketahanan Wilayah. Menyimak pembahasan tersebut diatas, maka aktualisai Binter dimasa yang akan datang sangat tergantung pada masyarakat itu sendiri. Masyarakat Indonesia sekarang sangat jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia di masa perjuangan dalam merebut kemerdekaan dan paska proklamasi kemerdekaan. Dengan demikian maka mengaflikasikan Binter dalam masyarakat akan berbeda setiap masa. Menurut teori nilai, visi Binter sama dengan nilai instriksik yaitu untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi nilai terapannya atau nilai ekstinsiknya barangkali Koter selaku aparat Binter tidak sepenuhnya berperan sebagai aparat Binter dan perlu adanya pelimpahan tugas dan tanggungjawab pada instansi yang lebih berkompeten dalam bidang itu termasuk di dalamnya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktualisasi Binter dalam rangka menyiapkan ketahanan wilayah adalah sebagai berikut :

/a. Binter. . . . . . . . .
a. Binter dalam arti sebenarnya adalah pembangunan masyarakat itu sendiri, seiring dengan keajuan zaman, maka masyarakat akan berkembang dengn sendirinya melalui mekanisme layanan dan pengayoman dari aparat pemerintah yang bersih dan berwibawa.

b. Keberadaan Koter selaku aparat Binter saat ini cenderung kurang efektif dan bahkan keberadaannya cenderung menjadi masalah dalam upaya mewujudkan ketahanan wilayah.

c. Pelaksana Binter dapat dilakukan oleh aparat pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan pembangunan masyarakat. Keterlibatan Koter dalam hal ini sebagai pendukung unsur pelayanan oleh pemerintah.

d. Dukungan dari Koter yang dapat diberikan adalah dalam bentuk bantuan kepelatihan untuk menyiapkan potensi wilayah menjadi ruang, alat dan kondisi juang.


KESIMPULAN DAN SARAN

30. Kesimpulan. Pelaksanaan Binter dimasa depan dilaksanakan secara proporsional oleh instansi yang berkompeten dan yang memiliki kewenangan yang jelas untuk itu sesuai dengan supremasi hukum yang akan ditegakan. Keterlibatan TNI dalam wadah Koter untuk melakukan Binter agar memiliki landasan hukum berupa perundang-undangan dengan sasaran yang terbatas dan hanya berupa dukungan. Masyarakat sebagai komponen utama bangsa akan terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Perkembangan masyarakat akan semakin pesat seiring dengan alam domokrasi, penegakan hukum dan HAM yang sedang diperjuangkan di Indonesia. TNI melalui lembaga Koter telah pernah dianggap berperan dalam proses pembangunan bangsa yang pada akhirnya diragukan keberadaannya. Dihapuskannya fungsi Sospol TNI oleh gerakan reformasi, jangan sampai terulang untuk yang kedua kali TNI kehilangan kesempatan dalam melakukan perubahan dalam fungsi Binter. Untuk itu sudah saatnya TNI berubah sebelum dirubah oleh tuntutan zaman di masa yang akan datang.

31. Saran. Mengantisipasi perubahan zaman dan pekembangan masyarakat yang semakin cepat dan guna tetap eksisnya peran Binter TNI di masa depan, maka disarankan hal-hal sebagai berikut :
/a. TNI. . . . . . . .
a. TNI harus memformulasikan bentuk Binter baru dengan sasaran terbatas pada hal-hal yang memiliki relevansi profesionalisme prajurit TNI.

b. Keterlibatan TNI dalam Binter perlu dibatasi pada dukungan yang dapat diberikan kepada komponen bangsa lainnya seperti penyiapan komponen bangsa dalam Bela Negara.

c. Bentuk Koter lebihdisesuaikan dengan perkembangan keadaan, sehingga keberadaannya diakui dan dibutuhkan masyarakat.

PENUTUP

32. Demikian tulisan ini dibuat untuk dapatnya dijadikan sebagai bahan masukan kepada Komando Atasan.

Palangka Raya, 10 Nopember 2000














DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN. ……………………………………………………… 1
1. Umum……………………………………………………………. 1
2. Maksud dan Tujuan ……………………………………………. 2
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut …………………………………… 2
4. Metoda dan Pendekatan. ……………………………………….. 2

II LANDASAN DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
5. Umum. ………………………………………………………….. 3
6. Landasan Hukum. ……………………………………………… 3
7. Landasan Operasional. ………………………………………… 4
8. Tuntutan agar Koter Dibubarkan. . . .……………………………. 4
9. Undang-undang Otonomo Daerah……………………………… 5
10. Peruahan Paradigma Pembangunan………………………………. 5

III KONDISI BINTER SAAT INI…………………………….. . . . . . . . . . . 6
11. Umum. ………………………………………………………….. 5
12. Pembinaan Geografi. ..………………………………………… 6
13. Pembinaan Demografi. ………………………………………… 7
14. Pembinaan Kondisi Sosial. ……………………………………. 7
15. Pembinaan Aparat Teritorial. ………………………………… 7
16. Piranti Lunak. . . . . . . …………………………………………. 7
17. Ketahanan Wilayah…………………………………………… 8
18. Dari uraian tersebut ………………………………………….. 8

IV FAKTORYANG MEMPENGARUHI.
19. Umum. ………………………………………………………….. 9
20. Faktor Ekstern…………………………………………………… 9
21. Faktor Intern…………………………………………………….. 9
/V ANALISIS. . . . . . .
V ANALISIS MASALAH BINTER AKTUALISASI BINTER
DALAM RANGKA MENYIAPKAN KETAHANAN WILAYAH
21. Umum. …………………………………………………………. 10
22. Masalah Geografi. …………………………………………….. 10
23. Masalah Demografi……………………………………………. 11
24. Masalah Kondisi Sosial……………………………………….. 12
25. Masalah Personil Aparat Teritorial………….…………………. 12
26. Masalah Piranti Lunak…….…………………………………… 14
27. Masalah Ketahanan Wilayah ………………………………… 14
29; Aktualisasi Binter dalam rangka Menyiapkan Ketahanan Wilayah 15

VI KESIMPULAN DAN SARAN
30. Kesimpulan …………………………………………………… 16
31. Saran…………………………... ………………………………. 16

VII PENUTUP
32. Demikian……………………………………………………….. 17

________________________














KOMANDO DAERAH MILITER VI
TANJUNG PURA
KOMANDO RESOR MILITER 102




KONSEPSI AKTUALISASI BINTER
DALAM RANGKA MENYIAPKAN KETAHANAN WILAYAH

( KARANGAN MILITER INI DITULIS
DALAM RANGKA RAKORNISTER TANGGAL 20 S/D 21 NOPEMBER200
DI MABES TNI )














Palangka Raya, 10 Nopember 2000


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Ketetapan MPR RI nomor : TAP/VII/MPR tahun 20000.
2. Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah uapaya Sosialisasi) terbitan Jakarta, tahun 1999
3. Petunjuk Teritorial TNI AD terbutan 1992 oleh Suad.
4. Vademikum Teritorial tahun 1999 terbitan Suad.
5. Buku Laporan Program Kerja Korem 102/PP T.A 1998/1999.
6. Buku Renbinter Korem 102/PP tahun 1998.
7. Undang-Undang No. 22/ Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
8. TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan
Bangsa.
9. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
10. Militer kembali ke Barak, Sebuah studi Komparatif ( Military withdrawal from
politics a comparative study ), terbitan PT Tiara Wacana Yogya, 1998.
11. Membangun Oposisi, Agenda-agenda Perubahan Politik Masa Depan, Eep Saefulloh Fatah
------------------------------------



.